UPAYA BANTUAN HUKUM BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Secara jelas diungkapkan dalam konstitusi kita bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Selanjutnya, setiap warga negara juga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil, dan mendapatkan bantuan hukum apabila terlibat dalam suatu perkara.

Hal tersebut perlu diketahui dan dipahami oleh semua warga negara, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ini mengingat kondisi masyarakat kita yang masih awam terhadap hukum atau aturan-aturan yang berlaku, yang dimungkinkan banyaknya aturan-aturan (kebijakan-kebijakan) yang muncul tanpa adanya ”diseminasi” yang merata di tingkat ”bawah”. Padahal, dalam hukum tidak dikenal atau tidak ada kompromi jika orang yang    melanggar hukum karena ia belum atau tidak tahu tentang peraturan atau hukum tersebut. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang berlaku semestinya diketahui dan dipahami oleh semua warga negara.

Dalam konteks birokrasi kita, permasalahan-permasalahan hukum juga seringkali terjadi dan melibatkan aparatur negara, yang semestinya menjadi tauladan di tengah masyarakat. Menyitir dari Koran TEMPO tanggal 25 Januari 2010, disebutkan sampai tahun 2009 sedikitnya 50-an Bupati yang rawan perkara dikarenakan terlibat korupsi, sebagai ”kejahatan yang luar biasa”. Pada beberapa kasus, ”terlibatnya” aparatur negara dalam perkara hukum tersebut dimungkinkan kurang adanya pemahaman terhadap peraturan yang berlaku.

Contoh lain adalah “perselisihan” kepegawaian yang terjadi di Provinsi Lampung, dimana Pejabat Pengganti Gubernur telah menonjobkan 20 (dua puluh) pejabat di bawahnya tanpa adanya pertimbangan hukum dan aturan yang jelas (Koran TEMPO, 5 Agustus 2008). Kasus pemberhentian Kepala-kepala Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi Lampung oleh Plt. Gubernur mendapat tanggapan yang cukup luas dan menjadi wacana nasional menyusul adanya sengketa-sengketa kepegawaian di beberapa daerah lain. Sengketa kepegawaian ini berlanjut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas gugatan yang diajukan oleh Kepala-Kepala Dinas yang “dinonjobkan” oleh Plt. Gubernur Propinsi Lampung. Penggantian pejabat di Lampung ini ditengarai juga bertentangan dengan PP Nomor 49 Tahun 2008 Pasal 132 ayat (1), yang menyebutkan Gubernur pengganti tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis. Menurut PP ini, penggantian atau penonjoban pejabat seharusnya dengan izin dari Menteri Dalam Negeri.

Di tingkat bawah, banyak pula ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PNS, yang menyeret mereka dalam perkara hukum, atau sering disebut sengketa kepegawaian. Sengketa-sengketa kepegawaian tersebut telah ”menyeret” institusi-institusi pengelola kepegawaian, baik di Daerah maupun instansi Pusat. Berlarutnya suatu sengketa kepegawaian juga seringkali berujung di pengadilan (PTUN) dan memerlukan ”energi” yang cukup banyak bagi pihak-pihak terkait.

Gambaran-gambaran di atas masih cukup relevan untuk diketengahkan dan menjelaskan akan adanya kemungkinan “kasus-kasus” yang serupa dimasa mendatang. Maka, di lingkup PNS, setiap individu/pegawai perlu mengetahui dan memahami aturan-aturan kepegawaian, sebagai dasar hukum pelaksanaan program dan kegiatan di bidang kepegawaian. Disamping itu, PNS pun perlu mengetahui dan memahami tatacara dan prosedur hukum terkait sengketa kepegawaian.

Peran BKN dalam Penyelesaian Sengketa Kepegawaian

Di lingkup PNS, perkara hukum PNS terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. Hal ini sesuai Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang menyebutkan bahwa ”Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undang pidana maka untuk menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, diadakan Peraturan Disiplin PNS”.

Selanjutnya, dalam penyelesaian perkara hukum atau sengketa kepegawaian dilakukan cara sebagaimana dituangkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu: (1) Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui PTUN; (2) Sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui upaya bandng administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK); (3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Berdasar bunyi Pasal 35 tersebut, maka ada dua cara penyelesaian sengketa yaitu khusus untuk pelanggaran disiplin diupayakan terlebih dahulu penyelesaian melalui saluran banding administratif kepada BAPEK. Kedua adalah penyelesaian sengketa melalui PTUN. Ini terkait dengan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang menyatakan dengan jelas bahwa sengketa kepegawaian merupakan bagian dalam pengertian sengketa tata usaha negara. Dengan demikian, terhadap sengketa yang terjadi di lingkungan kepegawaian dapat dimintakan atau mengajukan penyelesaiannya kepada Badan PTUN.

Dalam konteks penyelesaian sengketa kepegawaian, BKN memiliki peran yang sangat penting, sehingga BKN memiliki unit kerja khusus yang menangani bantuan hukum, yaitu Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum. Keberadaan unit kerja ini diatur dalam Peraturan Kepala BKN Nomor 14 Tahun 2008 tanggal 26 Juni 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kepala BKN Nomor 19 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tatakerja BKN. Seperti dijelaskan dalam Pasal 418 B disebutkan bahwa Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum mempunyai tugas melaksanakan analisis, telaahan, pemberian saran, dan evaluasi implementasi kebijakan manajemen kepegawaian, serta memberikan bantuan hukum. Secara khusus, dalam konteks bantuan hukum, unit kerja ini menyelenggarakan fungsi-fungsi: (a) Pemberian pertimbangan dan nasehat hukum; (b) Pemberian fasilitasi dan koordinasi bantuan hukum; dan (c) Pendampingan beracara di pengadilan dan memberikan bantuan hukum.

Dalam operasionalnya, Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum senantiasa berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait, termasuk instansi di daerah. Namun demikian, keberadaan unit kerja yang relatif masih baru ini belum banyak dikenal eksistensinya, baik secara formal maupun terkait dengan penyelesaian bantuan hukum yang pernah ditanganinya. Ini didasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2009, yang menggambarkan pada umumnya pejabat dan pegawai di lingkup Pemerintah Daerah belum mengetahui secara jelas pihak-pihak yang menangani sengketa kepegawaian. Selama ini, setiap sengketa kepegawaian langsung ditangani Badan Kepegawaian Daerah (BKD), karena biasanya hanya menyangkut permasalahan administrasi kepegawaian saja. Dan, apabila BKD tidak mampu menangani, biasanya akan berkonsultasi dengan BKN (melalui Kantor Regional BKN).

Padahal!. Bila dilihat dari catatan atau laporan tahunan Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum, sampai dengan tahun 2010 unit kerja ini telah menangani atau memberikan bantuan dalam sengketa-sengketa kepegawai yang cukup banyak dan beragam. Kecenderungan ini menjadi meningkat pada akhir-akhir ini seiring dengan munculnya banyak permasalahan-permasalah kepegawaian, khususnya di lingkup Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan kapabilitas unit kerja ini, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

Peningkatan Peran Bantuan Hukum

Sebagai upaya untuk meningkatkan peran BKN dalam membantu dan menangani permasalahan atau sengketa kepegawaian, maka perlu dilakukan beberapa upaya, yang pada hakekatnya juga merupakan harapan dari berbagai pihak pengelola kepegawaian di beberapa daerah, yakni: pertama, BKN melalui unit kerja-unit kerja terkaitnya dapat mempertahankan norma, standar dan prosedur yang berlaku selama ini serta meningkatkan kualitasnya dalam upaya penyelesaian permasalahan atau sengketa kepegawaian. Disamping itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah memperkuat kapabilitas sumber daya manusia di lingkup unit kerja terkait dengan bantuan hukum PNS, yakni BAPEK serta Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum.

Kedua, sosialisasi mengenai tatacara dan prosedur-prosedur dalam penanganan permasalahan atau sengketa kepegawaian yang melibatkan pengelola kepegawaian umumnya dan khususnya BKN. Hal ini dikarenakan masih banyaknya pengelola kepegawaian di instansi Pusat maupun Pemerintah Daerah yang belum memahami tatacara dan prosedur penanganan permasalahan atau sengketa kepegawaian yang berlaku selama ini.

Ketiga, BKN perlu merespon usulan untuk meningkatkan kinerja penyelesaian penanganan permasalahan atau sengketa kepegawaian dengan adanya jabatan fungsional ”pengacara” di lingkungan PNS. Sebagaimana diusulkan oleh beberapa daerah adalah dibentuknya jabatan fungsional pengacara atau “Pengacara Daerah”. Hal ini dianalogikan dengan permasalahan atau sengketa yang ditangani oleh Mahkamah Militer, dimana peran kepengacaraan dilakukan oleh oditur.

Terdapat keuntungan bila jabatan fungsional pengacara atau pengacara daerah ini dapat terwujud, yaitu proses penyelesaian sengketa kepegawaian dapat berjalan dengan lancar dan cepat dikarenakan secara substansial mereka telah mengetahui dan memahami masalah-masalah kepegawaian dibandingkan dengan pengacara umum. Disamping itu, dalam proses di pengadilan dapat mengurangi pengeluaran anggaran, terutama pengeluaran untuk membayar jasa pengacara yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Tindak Lanjut

Dalam tataran praktek administrasi negara ataupun birokrasi seringkali muncul permasalahan-permasalahan yang melingkupinya. Permasalahan atau sengketa yang kemudian muncul bukan hanya terkait dengan masalah administratif saja, akan tetapi telah berkembang pada persoalan yang menyangkut perkara hukum. Untuk itu, harus ada upaya dari pihak-pihak “berwenang” untuk mensosialisasikan permasalahan-permasalahan terkait dengan permasalahan atau perkara hukum yang melingkupi di lngkup bidang tersebut.

Dalam konteks kepegawaian, sengketa-sengketa ataupun perkara-perkara kepegawaian yang sering terjadi seyogyanya dapat diselesaikan melalui bantuan hukum yang dilakukan pihak-pihak yang memiliki kaitan didalamnya. Dalam hal ini, upaya kegiatan bantuan hukum semestinya secara terus menerus diperhatikan dan ditingkatkan kualitasnya. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya mengejawantahkan manajemen PNS, khususnya dalam mewujudkan visi dan misi BKN. Oleh karena itu, unit kerja-unit kerja yang terkait dan memiliki otoritas untuk melakukan bantuan hukum perlu dilakukan penguatan atau kapabilitas dalam kuantitas maupun kualitasnya.

Tinggalkan komentar