HUMAN CAPITAL MANAGEMENT: SDM SEBAGAI “INVESTOR”

Mengikuti Diklat Human Capital Management Certification (HCMC) di PPM-Jakarta barangkali merupakan kesempatan yang langka sekaligus sangat berharga bagi penulis. Diklat yang diikuti 12 peserta dari beberapa unit kerja di Badan Kepegawaian Negara ini juga merupakan program unggulan yang diselenggarakan PPM-Jakarta (atau disebut sebagai Program Pengembangan Eksekutif).
Diklat HCMC sendiri memiliki tujuan yang sangat bagus bagi pesertanya, diantaranya: mampu mengidentifikasi kesesuaian antara strategi organisasi dengan strategi HCM, pengembangan desain dan struktur organisasi; mampu mendesain model kompetensi dan proses asesmen kompetensi; mampu mengaplikasikan perencanaan SDM, rekrutmen-seleksi, penempatan sesuai dengan kebutuhan organisasi; mampu mengaplikasikan pengembangan dan pengelolaan karier sesuai dengan kebutuhan organisasi; mampu mengaplikasikan manajemen kinerja dan remunerasi sesuai dengan kebutuhan organisasi; dan mampu mengembangkan dan mengubah sikap, perilaku dan cara kerja yang diperlukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan perubahan organisasi.
Kaitan dengan hal di atas, penulis ingin membagi pengalaman mengikuti Diklat HCMC dalam tulisan yang sederhana ini. Tentunya, isi tulisan ini tidak terlepas mengacu pada materi-materi yang diperoleh dari Diklat HCMC tersebut.

HCM: SDM Sebagai “Investor”
Ungkapan yang mungkin cukup kita kenal terkait dengan SDM adalah apa yang diungkapkan oleh Drucker (1993), “organisasi yang tidak mampu meningkatkan diri sendiri, tidak akan sukses dalam kompetisi masa yang akan datang. Oleh karena itu, organisasi harus mampu menyediakan aset manusia (human capital) saat ini yang mampu menjalankan organisasi masa yang akan datang. Organisasi juga harus selalu memperbaharui dan meningkatkan kualitas aset manusianya”.
Jamak kita baca dalam beberapa referensi yang menyatakan bahwa SDM merupakan “asset” dalam organisasi. SDM juga merupakan faktor terpenting dalam organisasi, dikarenakan SDM sebagai penggerak/motor bagi sumberdaya-sumberdaya lainnya. Untuk itu, SDM harus senantiasa dikembangkan pengetahuan dan keterampilannya, serta “dipelihara” dengan berbagai penghargaan (reward) yang “menggiurkan” agar tidak “lari” (turn over) dari organisasinya.
Dinamika yang berkembang saat ini telah “memaksa” kita untuk berubah dalam memandang SDM dalam organisasi. Dalam kaitan ini, paradigma telah mengubah pandangan bahwa SDM bukan lagi semata sebagai “unit ekonomi” atau unit produksi dalam organisasi. Namun, SDM lebih dipandang sebagai “contributor” utama terhadap keberhasilan setiap program atau kegiatan dalam organisasi. Oleh karenanya, bagi organisasi upaya yang perlu dilakukan adalah bagaimana melakukan investasi kepada SDM yang ada untuk mendapatkan nilai tambah bagi ketercapaian tujuan organisasi, serta kepuasan stakeholder.
SDM sebagai intangible asset dalam organisasi menjadi penting dikarenakan ia memiliki kompetensi dan juga komitmen, yang berupa keterampilan, pengalaman, potensi dan kapasitasnya. Nah, SDM akan lebih menjadi aset yang sangat penting atau berharga apabila SDM tersebut memilih untuk menginvestasikan “modalnya” kepada organisasi. Artinya, organisasi akan memperoleh manfaat yang besar atas keberadaan SDM tersebut apabila ia “mau berkorban” atau berkontribusi terkait dengan pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya, apabila ia kurang “mau berkorban” atau berkontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi, ia hanyalah “free rider”, yang cuma membonceng kinerja orang lain dalam organisasi.
Dalam pandangan HCM, pimpinan atau organisasi mempunyai kepentingan agar SDM yang ada menjadi modal/aset organisasi yang baik, yang mampu berkinerja tinggi. Semakin tinggi kinerja SDM, maka semakin tinggi pula ketercapaian tujuan organisasinya. Disisi lain, pimpinan organisasi juga harus “rela” memandang SDM sebagai “pemilik modal” atau “investor” dalam organisasi itu sendiri. Dalam hal ini, SDM memiliki “kedudukan” dan “kepentingan” yang tinggi terhadap eksistensi dan kemajuan organisasi, karena ia memiliki “saham” atas kompetensi, potensi dan kesetiaan kepada organisasi. Artinya, apabila SDM tidak mau berkontribusi atas “saham” yang dimilikinya, maka tentu kemajuan dan tujuan organisasi tidak akan terwujud. Dengan demikian, dalam pandangan HCM, SDM (baca: pegawai) justru yang memiliki peranan yang paling besar (contribute utama) dalam organisasi. Sedangkan, manager yang berada pada setiap lini (unit kerja) hanyalah orang-orang yang dipercaya oleh pemilik “saham” untuk mengelola organisasi.

Strategi untuk HCM
Seperti dikemukakan oleh David Ulrich (2009), “the next agenda for competitiveness is Human Capital”. Untuk itu, segenap anggota organisasi semestinya bersama-sama untuk memikirkan SDM, agar organisasi dapat memenangkan kompetisi. Tugas utama manager adalah bagaimana mengidentifikasi kebutuhan modal untuk pengembangan usaha (baca: program atau kegiatan). Sedangkan, SDM atau pegawai memiliki tugas mengidentifikasi organisasi yang akan memenuhi kebutuhannya sebagai modal.
Dalam upaya mengidentifikasi kebutuhan modal untuk pengembangan usaha, manager harus mampu mendefinisikan secara jelas profil SDM yang diinginkan. Ini berkaitan dengan pemilihan SDM yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan tugas-tugas organisasi. Dalam hal SDM yang telah tersedia, maka manager harus mampu meminimalkan “gap” kompetensi SDM melalui berbagai macam usaha pengembangan pegawai.
Sementara itu, bagi pegawai upaya mengidentifikasi organisasi yang akan memenuhi kebutuhannya sebagai modal, maka ia akan mencari informasi yang seluas-luasnya mengenai kebijakan perusahaan/organisasi yang mampu menarik modal/aset yang dimilikinya. Disini, pegawai memiliki cukup “keleluasaan” untuk memilih dan menentukan apakah modal/aset yang dimiliki akan “disumbangkan” atau tidak diberikan kepada organisasinya saat ini. Disisi lain, pegawai sebagai pemilik modal/aset juga dapat mengalihkan sumbangsih modal/asetnya kepada perushaaan/organisasi lain, yang mungkin mempunyai penawaran “keuntungan” yang lebih tinggi kepada mereka.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya yang dapat dilakukan sebagai “win-win solution” adalah bagaimana kedua belah pihak, manager dan pegawai, dapat bersinergi dalam mewujudkan tujuan organisasi. Manager sebagai orang yang dipercaya pemilik “saham” harus mampu mengelola perusahaan/organisasi dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam mendayagunakan saham-saham yang tersedia. Disamping itu, manager juga harus mampu mengakomodasi dan mendekatkan “kebutuhan-kebutuhan” para pegawai, baik secara materiil maupun non-materiil. Pemenuhan atas kebutuhan pegawai tersebut akan dapat menarik pemilik modal (investor) untuk tetap menanamkan dan mempertahankan “sahamnya” di perusahaan/organisasinya.
Sementara itu, pegawai juga harus berkomitmen memberikan dan memperjuangkan (warriorship) “saham” yang dimilikinya kepada perusahaan/organisasi. Karena, kemauan para pegawai untuk memberikan kontribusi yang besar atas “saham” yang dimiliki merupakan faktor utama yang mempengaruhi berhasil tidaknya pencapaian tujuan organisasi. Jadi, inilah…HCM!!!

URGENSI PENGELOLAAN TATA NASKAH KEPEGAWAIAN

Dalam konteks untuk memperlancar kegiatan instansi pemerintah di bidang administrasi kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara (BKN) perlu memiliki informasi kepegawaian yang berkualitas. Informasi yang berkualitas akan sangat mendukung dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di bidang kepegawaian serta implementasinya di lapangan. Untuk itu, data-data kepegawaian pada setiap naskah kepegawaian, sebagai embrio informasi, haruslah berupa data-data yang berkulitas pula. Data-data kepegawaian juga diharuskan senantiasa up to date (akurat) bagi penentuan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (MPNS) yang baik, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Secara teknis, dengan meningkatnya jumlah arsip kepegawaian yang disimpan dan dikelola dalam tata naskah Badan Kepegawaian Negara, semakin besar pula pekerjaan yang harus dilakukan. Untuk itu, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan arsip kepegawaian tersebut perlu dilakukan penataan tata naskah secara sistematis. Penataan tata naskah yang baik akan mewujudkan tertib administrasi kepegawaian yang baik pula, sekaligus akan mempermudah dan memperlancar tugas pengelola kepegawaian. Dengan demikian, BKN berkepentingan untuk mewujudkan kegiatan “pengelolaan tata naskah kepegawaian” ini berjalan dengan lancar sesuai target dan sasaran yang telah ditetapkan.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam tataran pengelolaan atau penatausahaan administrasi suatu organisasi tidak dapat mengabaikan penataausahan administrasi yang bersifat manual. Hal ini disebabkan setiap model atau media penatausahaan administrasi mempunyai karakteristik, kekuatan dan keterbatasan masing-masing. Dalam hal ini, meskipun pengelolaan administrasi kepegawaian telah menganut model penerapan teknologi informasi (SAPK atau DMS), akan tetapi tata naskah kepegawaian secara manual masih relevan dan dirasakan penting keberadaannya.

Keberadaan tata naskah kepegawaian bukan hanya penting ketika teknologi informasi tidak mampu menyajikan secara cepat dan akurat data-data atau informasi yang diperlukan. Namun, tata naskah juga memiliki nilai guna keuangan, sejarah, hukum dan bahan penelitian/riset. Bahkan, dalam sistem hukum yang berlaku saat ini, keberadaan naskah (kepegawaian) menjadi sangat penting dan dibutuhkan sebagai alat bukti di peradilan. Oleh karenanya, peningkatan pengelolaan tata naskah kepegawaian menjadi urgent untuk dilakukan secara terus menerus.

Permasalahan Pengelolaan Tata Naskah Kepegawaian

Pengelolaan tata naskah kepegawaian telah menjadi domain BKN dan berkembang seiring waktu berkembangnya wewenang BKN dalam mengelola administrasi kepegawaian nasional. Perkembangan pengelolaan tata naskah yang cukup lengkap dan mutakhir dimulai dengan adanya Surat Edaran Kepala BKN Nomor 09 Tahun 1976 yang mewajibkan adanya disiplin pelaporan mutasi dari instansi ke Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Kondisi inilah yang selanjutnya menempatkan citra dan apresiasi dari berbagai pihak kepada BKN dikarenakan BKN dianggap memiliki komoditi informasi kepegawaian/tata naskah kepegawaian yang tertib dan teratur.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas data atau informasi kepegawaian yang benar dan akurat telah dilakukan penataan dan penertiban Pegawai Negeri Sipil. Pertama, penataan dan penertiban Pegawai Negeri Sipil dilakukan melalui Kepres Nomor 27 Tahun 1973 tanggal 7 Juli 1973 yang menetapkan adanya Pendaftaran Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS) yang wajib diikuti seluruh Pegawai Negeri Sipil, termasuk di Luar Negeri. Kedua, penataan dan penertiban Pegawai Negeri Sipil yang dilakukan pada tahun 2003 melalui program Pendaftaran Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS).

Dinamika masyarakat yang berubah dan melahirkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah menempatkan pengelolaan tata naskah sedikit di persimpangan jalan, untuk bertahan dengan sistem manual ataupun mengikuti perkembangan teknologi informasi. Pada akhirnya, kecenderungan menerapkan teknologi informasi sebagai basis pengelolaan data atau informasi kepegawaian menjadi pilihan yang cukup rasional. Meskipun, penawaran model penyimpanan tata naskah kepegawaian secara modern (teknologi informasi), bagaimanapun telah pula menurunkan kepedulian sebagian orang terhadap tata naskah kepegawaian secara manual.

Sementara itu, terkait dengan penyelenggaraan administrasi kepegawaian di daerah, maka tata naskah kepegawaian telah dikelola oleh Kantor Regional BKN di beberapa daerah. Pembentukan Kantor Regional BKN di 12 (duabelas) wilayah telah mendesentralisir sebagian urusan kepegawaian ke daerah. Hal ini juga berakibat adanya perpindahan pengelolaan administrasi kepegawaian atau tata naskah kepegawaian ke daerah tersebut. Hanya, salah satu dampak yang cukup dirasakan atas kondisi ini adalah menjadi kurang lengkapnya tata naskah kepegawaian yang ada di BKN Pusat maupun Kantor Regional BKN karena data yang “tercecer” ataupun data yang tidak tersampaikan dari instansi-instansi terkait. Disamping itu, adanya pengelolaan tata naskah kepegawaian di BKN Pusat dan masing-masing Kantor Regional BKN dianggap sebagai program atau kegiatan yang sejenis, dan pembiayaan atas keduanya dianggap double account.

Terkait dengan sumber daya manusia pengelola tata naskah kepegawaian, berdasarkan data yang diperoleh menggambarkan jumlah pegawai di lingkungan BKN maupun di lingkungan Kantor Regional BKN, khususnya yang terlibat langsung dalam pengelolaan tata naskah kepegawaian, masih dirasakan kurang memadai. Pada beberapa Kantor Regional BKN, perbandingan antara pegawai dengan jumlah tata naskah kepegawaian yang harus dikelola adalah di atas 1 : 30.000. Hal ini sebagai salah satu gambaran yang kurang ideal dalam pengelolaan tata naskah yang baik.

Sementara itu, pengelolaan administrasi atau tata naskah secara manual cenderung menuntut ketersediaan sarana prasarana yang bersifat fisik. Dalam hal ini, sarana prasarana yang cukup penting dalam pengelolaan tata naskah kepegawaian manual adalah tempat penyimpanan berkas-berkas, salah satunya adalah lemari. Kondisi eksisting di lingkup BKN dan Kantor Regional BKN, sarana prasarana berupa lemari masih belum memadai. Gambaran ini terlihat dari masih banyaknya berkas-berkas yang masih menumpuk dan belum tertata secara rapi dalam suatu rak atau lemari sebagaimana berkas-berkas yang lainnya.

Beberapa permasalahan yang melingkupi pengelolaan tata naskah kepegawaian inilah yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengelolaan tata naskah kepegawaian tersebut?

Peningkatan Pengelolaan Tata Naskah Kepegawaian

Sebenarnya telah ada “perangkat” sebagai acuan atau pedoman dalam pengelolaan tata naskah kepegawaian di lingkup BKN dan instansi-instansi terkait. Salah satu aturan tersebut adalah Peraturan Kepala BKN Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Tata Naskah Kepegawaian Pegawai Negeri Sipil. Dalam aturan ini, pedoman pengelolaan tata naskah kepegawaian PNS meliputi tata naskah yang disimpan dalam bentuk dokumen fisik maupun image document. Tujuannya agar pengelolaan tata naskah kepegawaian PNS dapat dilakukan secara efisien dan efektif.

Namun demikian, untuk mendukung implementasi aturan tersebut, maka ada beberapa hal yang patut untuk diperhatikan dalam peningkatan pengelolaan tata naskah, diantaranya: pertama, penambahan jumlah pegawai pengelola tata naskah kepegawaian. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memutasikan pegawai dalam jabatan fungsional umum maupun pegawai dalam jabatan fungsional tertentu sebagai tenaga pengelola tata naskah kepegawaian. Penambahan pegawai juga dapat dilakukan dengan menetapkan formasi baru melalui penerimaan Calon PNS.

Kedua, penambahan sarana prasarana. Dalam kaitan ini, sarana prasarana yang perlu adalah penyediaan lemari penyimpanan yang mengacu pada perhitungan jumlah tata naskah kepegawaian ideal dalam satu lemari. Disamping itu, juga penyediaan ruang/gudang khusus penyimpanann tata naskah kepegawaian yang ideal. Ketersediaan sarana prasarana yang memadai tidak hanya berujung pada kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan pekerjaan, akan tetapi juga dapat memberikan kenyamanan bagi pegawai maupun pihak-pihak yang berkepentingan didalamnya.

Ketiga, sebagai upaya pengembangan karier pegawai pengelola tata naskah kepegawaian, maka perlu dipikirkan agar para pegawai tersebut diarahkan kepada jabatan fungsional tertentu, misalnya Jabatan Fungsional Arsiparis atau Jabatan Fungsional Analis Kepegawaian. Terdapat dua hal yang diperoleh dari upaya ini, yaitu: (1) pengembangan karier pegawai menjadi lebih jelas dengan menduduki jabatan fungsional tersebut. Para pegawai juga lebih termotivasi dengan jabatan mandiri yang disandangnya untuk meningkatkan angka kredit sekaligus peningkatan jenjangnya. (2) kesejahteraan pegawai akan lebih meningkat, dikarenakan para pegawai akan memperoleh tunjangan fungsional sesuai dengan jenjang kepangkatan dalam jabatan fungsionalnya.

URGENSI PENELITIAN DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN KEPEGAWAIAN

Kepekaan dan tuntutan masyarakat terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai “mesin birokrasi” semakin meningkat seiring dinamika pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini. Untuk itu, upaya reformasi di tubuh birokrasi dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang harus dipenuhi.

Reformasi birokrasi yang saat ini telah memasuki “gerbang” Gelombang Kedua (2010-1014), pada kenyataannya masih belum banyak memberikan kemajuan yang berarti dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Reformasi birokrasi hanya dianggap sebagai wacana dan masih cukup jauh dari harapan masyarakat untuk “menumbuhkan” profesionalitas aparatur negara (baca: PNS) dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.

Penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan aparatur negara masih sarat dengan penyimpangan, terutama dalam adminitrasi publik. Dalam kaitain ini, penyimpangan diantaranya dapat diketahui dari:1) rendahya efisiensi dan efektivitas serta produktivitas PNS dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; 2) perencanaan pegawai yang belum berdasarkan hasil analisis jabatan, klasifikasi jabatan dan analisis beban kerja, sehingga hasil perencanaan pegawai belum mencerminkan kebutuhan yang nyata dari suatu organisasi, baik dari segi jumlah, komposisi maupun kualifikasinya; 3) sistem remunerasi dan kesejahteraan pegawai yang belum didasarkan pada bobot jabatan, klasifikasi dan kompetensi jabatan, sehingga kurang memotivasi PNS untuk lebih berprestasi serta besarnya gaji dan tunjangan yang diterima PNS masih belum memenuhi kebutuhan hidup layak (Yulina, 2012).

Gambaran di atas merupakan permasalahan-permasalahan serius yang melingkupi perwujudan PNS yang profesional dan sejahtera di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah belum kuatnya komitmen pemerintah untuk melakukan perubahan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan yang tepat dan prospektif. Disamping itu, dalam penetapan kebijakan di bidang kepegawaian seringkali tidak mendasarkan pada data atau informasi yang akurat, sehingga kebijakan yang diputuskan kurang match dengan kondisi di lapangan. Oleh karenanya, semestinya dalam mengambil keputusan/kebijakan kepegawain, pemerintah harus mendasarkan pada data atau informasi yang akurat.

Urgensi Penelitian dalam Pengambilan Kebijakan

Secara umum pengertian kebijakan publik (public policy) merupakan ”serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh Pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”. Begitu pentingnya kebijakan publik untuk kemaslahatan masyarakat, maka dalam formulasi kebijakan publik harus dilakukan secara cermat dan teliti sehingga output serta outcome yang hendak dicapai dapat terwujud.

Pun demikian adanya terkait dengan kebijakan di bidang kepegawaian, maka perlu mendapat perhatian yang cermat dalam formulasinya. Kebijakan di bidang kepegawaian seperti halnya kebijakan di bidang-bidang lainnya memiliki tingkat ”relevansinya” (decrease) yang cukup singkat, yakni 20% per tahun. Meski kalah singkat dengan tingkat decrease teknologi yang memiliki angka 30% per tahun; namun kenyataan ini perlu mendapat perhatian yang cukup serius mengingat dinamika dalam administrasi publik juga sangat cepat. Dengan demikian, semestinya dalam kurun waktu lima tahun setiap kebijakan kepegawaian harus dikaji ulang (review) terkait relevansinya.

Sebagaimana disebutkan di atas, sebelum kebijakan diformulasikan, maka perlu dukungan data atau informasi yang benar dan akurat. Data atau informasi yang dikumpulkan akan lebih valid dan reliabel bila dilakukan melalui serangkaian penelitian. Hal ini dikarenakan penelitian mendasarkan pada metode-metode atau pendekatan-pendekatan yang ilmiah dan sistematis.

Dalam konteks formulasi kebijakan di bidang kepegawaian, juga harus memiliki landasan dan pijakan yang kuat. Untuk itu, sebelum merumuskan kebijakan kepegawaian diperlukan serangkaian kegiatan yang mendukung terciptanya kebijakan kepegawaian yang berkualitas, yakni penelitian. Dengan demikian, instansi yang berwenang mengelola kepegawaian harus memiliki unit kerja penelitian yang sangat berguna dalam menunjang terwujudnya kebijakan kepegawaian atau Manajemen Pegawai Negeri Sipil (MPNS), sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.

Upaya Peningkatan Kualitas Penelitian

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas penelitian? Seperti tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2013 tentang Badan Kepegawaian Negara (BKN), salah satu fungsi BKN adalah penelitian dan pengembangan di bidang manajemen kepegawaian. Untuk itu, maka perlu adanya unit kerja penelitian yang kredibel dan ”mumpuni”.

Selanjutnya, untuk menjawab persoalan-persoalan di bidang kepegawaian dan mengejawantahkan fungsi BKN, maka perlunya penyelenggaran penelitian yang berkualitas. Hasil penelitian-penelitian tersebut diharapkan dapat membantu dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan di bidang kepegawaian, sehingga menjadi kebijakan-kebijakan yang berkualitas pula.

Sebagaimana dikemukakan oleh Wakil Kepala BKN, penelitian yang dilakukan unit kerja penelitian di BKN semestinya bersifat logic dan memiliki manfaat besar, dengan cara melihat virtual capaiannya. Dalam kaitan ini, maka fokus yang perlu diperhatikan adalah pada ”manajemen kelitbangan” dan ”topik-topik penelitiannya” (Bima Haria Wibisana, 2013).

Berkenaan dengan manajemen kelitbangan, maka unit kerja penelitian di BKN seharusnya memiliki ”roadmap” yang jelas dan terarah. Untuk itu, unit kerja penelitian harus dapat menggambarkan ”time-scratch”, yakni gambaran yang bakal terjadi dimasa mendatang. Misalnya, kalau Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) diundangkan tahun ini, apa kira-kira yang akan terjadi pada lima tahun yang akan datang.

Sedangkan, terkait dengan topik-topik penelitian, maka hasil-hasil penelitian dari unit kerja penelitian di BKN semestinya juga menjadi ”policy relevant information”. Artinya, hasil-hasil penelitian harus bermanfaat dan sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan.

Sementara itu, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kegiatan penelitian di bidang kepegawaian, maka sekiranya perlu dilakukan beberapa hal, yaitu: pertama, unit kerja penelitian melakukan kerjasama dan koordinasi dengan unit kerja-unit kerja setingkat Eselon II lainnya. Sinergi dengan unit kerja lain adalah sangat penting untuk memperoleh masukan-masukan terhadap permasalahan-permasalahan kepegawaian yang melingkupi unit kerja-unit kerja lain sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia di lingkungan unit kerja penelitian, terutama bagi pegawai dalam jabatan fungsional peneliti dan staf peneliti. Peningkatan kualitas peneliti dapat dilakukan dengan mengikutsertakan dalam diklat atau workshop yang terkait dengan bidang penelitian, yang biasanya diselenggarakan oleh Instansi Pembina Jabatan Fungsional Peneliti, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Ketiga, peningkatan anggaran penelitian di lingkungan unit kerja penelitian. Peningkatan anggaran penelitian dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas usulan penelitian yang diajukan kepada unit kerja perencana program di lingkungan BKN. Disamping itu, kerjasama dan koordinasi yang erat dengan unit kerja perencana program juga menjadi pilihan sebagai upaya untuk menyamakan persepsi terhadap pentingnya penelitian dalam ikut mewujudkan visi dan misi BKN.

UPAYA BANTUAN HUKUM BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Secara jelas diungkapkan dalam konstitusi kita bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Selanjutnya, setiap warga negara juga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil, dan mendapatkan bantuan hukum apabila terlibat dalam suatu perkara.

Hal tersebut perlu diketahui dan dipahami oleh semua warga negara, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ini mengingat kondisi masyarakat kita yang masih awam terhadap hukum atau aturan-aturan yang berlaku, yang dimungkinkan banyaknya aturan-aturan (kebijakan-kebijakan) yang muncul tanpa adanya ”diseminasi” yang merata di tingkat ”bawah”. Padahal, dalam hukum tidak dikenal atau tidak ada kompromi jika orang yang    melanggar hukum karena ia belum atau tidak tahu tentang peraturan atau hukum tersebut. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang berlaku semestinya diketahui dan dipahami oleh semua warga negara.

Dalam konteks birokrasi kita, permasalahan-permasalahan hukum juga seringkali terjadi dan melibatkan aparatur negara, yang semestinya menjadi tauladan di tengah masyarakat. Menyitir dari Koran TEMPO tanggal 25 Januari 2010, disebutkan sampai tahun 2009 sedikitnya 50-an Bupati yang rawan perkara dikarenakan terlibat korupsi, sebagai ”kejahatan yang luar biasa”. Pada beberapa kasus, ”terlibatnya” aparatur negara dalam perkara hukum tersebut dimungkinkan kurang adanya pemahaman terhadap peraturan yang berlaku.

Contoh lain adalah “perselisihan” kepegawaian yang terjadi di Provinsi Lampung, dimana Pejabat Pengganti Gubernur telah menonjobkan 20 (dua puluh) pejabat di bawahnya tanpa adanya pertimbangan hukum dan aturan yang jelas (Koran TEMPO, 5 Agustus 2008). Kasus pemberhentian Kepala-kepala Dinas di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi Lampung oleh Plt. Gubernur mendapat tanggapan yang cukup luas dan menjadi wacana nasional menyusul adanya sengketa-sengketa kepegawaian di beberapa daerah lain. Sengketa kepegawaian ini berlanjut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas gugatan yang diajukan oleh Kepala-Kepala Dinas yang “dinonjobkan” oleh Plt. Gubernur Propinsi Lampung. Penggantian pejabat di Lampung ini ditengarai juga bertentangan dengan PP Nomor 49 Tahun 2008 Pasal 132 ayat (1), yang menyebutkan Gubernur pengganti tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis. Menurut PP ini, penggantian atau penonjoban pejabat seharusnya dengan izin dari Menteri Dalam Negeri.

Di tingkat bawah, banyak pula ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PNS, yang menyeret mereka dalam perkara hukum, atau sering disebut sengketa kepegawaian. Sengketa-sengketa kepegawaian tersebut telah ”menyeret” institusi-institusi pengelola kepegawaian, baik di Daerah maupun instansi Pusat. Berlarutnya suatu sengketa kepegawaian juga seringkali berujung di pengadilan (PTUN) dan memerlukan ”energi” yang cukup banyak bagi pihak-pihak terkait.

Gambaran-gambaran di atas masih cukup relevan untuk diketengahkan dan menjelaskan akan adanya kemungkinan “kasus-kasus” yang serupa dimasa mendatang. Maka, di lingkup PNS, setiap individu/pegawai perlu mengetahui dan memahami aturan-aturan kepegawaian, sebagai dasar hukum pelaksanaan program dan kegiatan di bidang kepegawaian. Disamping itu, PNS pun perlu mengetahui dan memahami tatacara dan prosedur hukum terkait sengketa kepegawaian.

Peran BKN dalam Penyelesaian Sengketa Kepegawaian

Di lingkup PNS, perkara hukum PNS terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. Hal ini sesuai Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang menyebutkan bahwa ”Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undang pidana maka untuk menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, diadakan Peraturan Disiplin PNS”.

Selanjutnya, dalam penyelesaian perkara hukum atau sengketa kepegawaian dilakukan cara sebagaimana dituangkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yaitu: (1) Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui PTUN; (2) Sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui upaya bandng administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK); (3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Berdasar bunyi Pasal 35 tersebut, maka ada dua cara penyelesaian sengketa yaitu khusus untuk pelanggaran disiplin diupayakan terlebih dahulu penyelesaian melalui saluran banding administratif kepada BAPEK. Kedua adalah penyelesaian sengketa melalui PTUN. Ini terkait dengan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang menyatakan dengan jelas bahwa sengketa kepegawaian merupakan bagian dalam pengertian sengketa tata usaha negara. Dengan demikian, terhadap sengketa yang terjadi di lingkungan kepegawaian dapat dimintakan atau mengajukan penyelesaiannya kepada Badan PTUN.

Dalam konteks penyelesaian sengketa kepegawaian, BKN memiliki peran yang sangat penting, sehingga BKN memiliki unit kerja khusus yang menangani bantuan hukum, yaitu Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum. Keberadaan unit kerja ini diatur dalam Peraturan Kepala BKN Nomor 14 Tahun 2008 tanggal 26 Juni 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kepala BKN Nomor 19 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tatakerja BKN. Seperti dijelaskan dalam Pasal 418 B disebutkan bahwa Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum mempunyai tugas melaksanakan analisis, telaahan, pemberian saran, dan evaluasi implementasi kebijakan manajemen kepegawaian, serta memberikan bantuan hukum. Secara khusus, dalam konteks bantuan hukum, unit kerja ini menyelenggarakan fungsi-fungsi: (a) Pemberian pertimbangan dan nasehat hukum; (b) Pemberian fasilitasi dan koordinasi bantuan hukum; dan (c) Pendampingan beracara di pengadilan dan memberikan bantuan hukum.

Dalam operasionalnya, Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum senantiasa berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait, termasuk instansi di daerah. Namun demikian, keberadaan unit kerja yang relatif masih baru ini belum banyak dikenal eksistensinya, baik secara formal maupun terkait dengan penyelesaian bantuan hukum yang pernah ditanganinya. Ini didasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2009, yang menggambarkan pada umumnya pejabat dan pegawai di lingkup Pemerintah Daerah belum mengetahui secara jelas pihak-pihak yang menangani sengketa kepegawaian. Selama ini, setiap sengketa kepegawaian langsung ditangani Badan Kepegawaian Daerah (BKD), karena biasanya hanya menyangkut permasalahan administrasi kepegawaian saja. Dan, apabila BKD tidak mampu menangani, biasanya akan berkonsultasi dengan BKN (melalui Kantor Regional BKN).

Padahal!. Bila dilihat dari catatan atau laporan tahunan Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum, sampai dengan tahun 2010 unit kerja ini telah menangani atau memberikan bantuan dalam sengketa-sengketa kepegawai yang cukup banyak dan beragam. Kecenderungan ini menjadi meningkat pada akhir-akhir ini seiring dengan munculnya banyak permasalahan-permasalah kepegawaian, khususnya di lingkup Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan kapabilitas unit kerja ini, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

Peningkatan Peran Bantuan Hukum

Sebagai upaya untuk meningkatkan peran BKN dalam membantu dan menangani permasalahan atau sengketa kepegawaian, maka perlu dilakukan beberapa upaya, yang pada hakekatnya juga merupakan harapan dari berbagai pihak pengelola kepegawaian di beberapa daerah, yakni: pertama, BKN melalui unit kerja-unit kerja terkaitnya dapat mempertahankan norma, standar dan prosedur yang berlaku selama ini serta meningkatkan kualitasnya dalam upaya penyelesaian permasalahan atau sengketa kepegawaian. Disamping itu, hal yang tak kalah pentingnya adalah memperkuat kapabilitas sumber daya manusia di lingkup unit kerja terkait dengan bantuan hukum PNS, yakni BAPEK serta Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian dan Bantuan Hukum.

Kedua, sosialisasi mengenai tatacara dan prosedur-prosedur dalam penanganan permasalahan atau sengketa kepegawaian yang melibatkan pengelola kepegawaian umumnya dan khususnya BKN. Hal ini dikarenakan masih banyaknya pengelola kepegawaian di instansi Pusat maupun Pemerintah Daerah yang belum memahami tatacara dan prosedur penanganan permasalahan atau sengketa kepegawaian yang berlaku selama ini.

Ketiga, BKN perlu merespon usulan untuk meningkatkan kinerja penyelesaian penanganan permasalahan atau sengketa kepegawaian dengan adanya jabatan fungsional ”pengacara” di lingkungan PNS. Sebagaimana diusulkan oleh beberapa daerah adalah dibentuknya jabatan fungsional pengacara atau “Pengacara Daerah”. Hal ini dianalogikan dengan permasalahan atau sengketa yang ditangani oleh Mahkamah Militer, dimana peran kepengacaraan dilakukan oleh oditur.

Terdapat keuntungan bila jabatan fungsional pengacara atau pengacara daerah ini dapat terwujud, yaitu proses penyelesaian sengketa kepegawaian dapat berjalan dengan lancar dan cepat dikarenakan secara substansial mereka telah mengetahui dan memahami masalah-masalah kepegawaian dibandingkan dengan pengacara umum. Disamping itu, dalam proses di pengadilan dapat mengurangi pengeluaran anggaran, terutama pengeluaran untuk membayar jasa pengacara yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Tindak Lanjut

Dalam tataran praktek administrasi negara ataupun birokrasi seringkali muncul permasalahan-permasalahan yang melingkupinya. Permasalahan atau sengketa yang kemudian muncul bukan hanya terkait dengan masalah administratif saja, akan tetapi telah berkembang pada persoalan yang menyangkut perkara hukum. Untuk itu, harus ada upaya dari pihak-pihak “berwenang” untuk mensosialisasikan permasalahan-permasalahan terkait dengan permasalahan atau perkara hukum yang melingkupi di lngkup bidang tersebut.

Dalam konteks kepegawaian, sengketa-sengketa ataupun perkara-perkara kepegawaian yang sering terjadi seyogyanya dapat diselesaikan melalui bantuan hukum yang dilakukan pihak-pihak yang memiliki kaitan didalamnya. Dalam hal ini, upaya kegiatan bantuan hukum semestinya secara terus menerus diperhatikan dan ditingkatkan kualitasnya. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya mengejawantahkan manajemen PNS, khususnya dalam mewujudkan visi dan misi BKN. Oleh karena itu, unit kerja-unit kerja yang terkait dan memiliki otoritas untuk melakukan bantuan hukum perlu dilakukan penguatan atau kapabilitas dalam kuantitas maupun kualitasnya.

TEKNOLOGI INFORMASI SEBAGAI BASIS PENGAMBILAN KEBIJAKAN KEPEGAWAIAN

Dalam konteks implementasi teknologi informasi (TI) atau EGovernment di lingkungan pemerintah, Bank Dunia (2002) secara terperinci menjelaskan:

”E-Government berkaitan dengan TI (seperti wide area network, internet, dan komunikasi bergerak) oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan hubungan pemerintah dengan warganya, pelaku dunia usaha (bisnis), dan lembaga pemerintah lainnya. Teknologi ini dapat mempunyai tujuan yang beragam, antara lain: pemberian layanan pemerintahan yang lebih baik kepada warganya, peningkatan interaksi dengan dunia usaha dan industri, pemberdayaan masyarakat melalui akses informasi, atau manajemen pemerintahan yang lebih efisien. Hasil yang diharapkan dapat berupa pengurangan korupsi, peningkatan transparansi, peningkatan kenyamanan, pertambahan pendapatan dan/atau pengurangan biaya”.

Statemen di atas menyiratkan bahwa kebijakan pengembangan E-Government pada hakekatnya merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan E-Government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalisasikan pemanfaatan TI. Dalam kaitan ini, mampukah TI dapat berperan dalam meningkatkan kualitas kebijakan pengelolaan kepegawaian di tanah air kita?

Dinamika Pengelolaan Kepegawaian Nasional

Pengelolaan aparatur negara (khususnya Pegawai Negeri Sipil/PNS) diatur dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor   8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 menyebutkan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, maka diperlukan PNS sebagai unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian, perlu diwujudkan PNS yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Untuk maksud di atas, Pemerintah seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 berupaya untuk meningkatkan pengelolaan PNS melalui suatu sistem yang disebut “Manajemen Pegawai Negeri Sipil”. Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasilguna. Kebijakan-kebijakan dalam Manajemen Pegawai Negeri Sipil mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum.

Sementara itu, adanya dinamika perubahan di lingkungan strategis yang begitu cepat telah merubah paradigma pengelolaan kepegawaian di Indonesia. Isu yang sangat strategis yang berkembang adalah fenomena desentralisasi (otonomi daerah) pada tataran pengelolaan pemerintahan. Hal ini juga berimbas terhadap pengelolaan kepegawaian di daerah, dimana setiap pengelola kepegawaian daerah memiliki kewenangan dan dalam beberapa hal dapat mengatur kepegawaian di masing-masing daerahnya.

Beralihnya kewenangan pengelolaan kepegawaian di daerah bagaimanapun telah memunculkan berbagai persoalan yang melingkupinya. Seperti dikemukakan oleh Joko Affandi (2001) bahwa terdapat kecenderungan (permasalahan) dalam manajemen PNS setelah dilaksanakan otonomi daerah. Beberapa kecenderungan yang dinilai tidak proporsional tersebut mencakup aspek kewenangan dan tanggungjawab pejabat pembina kepegawaian, pembinaan dan pengembangan, gaji dan tunjangan, serta pemutusan hubungan kerja PNS. Situasi seperti ini membawa konsekuensi lain yakni terjadinya ”dilema” bagi PNS itu sendiri, khususnya yang menyangkut pengembangan karier, jenjang kepangkatan, penempatan dalam jabatan, mobilitas vertikal dan horisontal, dan desentralisasi versus sentralisasi.

Disisi lain, terkait dengan administrasi kepegawaian, khususnya administrasi PNS, juga masih belum optimal dilakukan oleh pengelola kepegawaian di Pusat maupun Daerah. Dalam konteks pengelolaan tata naskah kepegawaian, saat ini masih dilakukan secara manual yang berisi dokumen-dokumen otentik PNS, sejak diangkat sebagai PNS sampai dengan pensiun. Pengelolaan tata naskah secara manual dapat menyebabkan terjadinya permasalahan dengan penyajian data, yakni adanya duplikasi pengelolaan data fisik antara BKN Pusat dengan Kantor Regional BKN. Dalam prakteknya, pengelolaan tata naskah juga berkaitan dengan persoalan penggunaan sarana prasarana dan SDM pengelolanya.

Untuk mendukung pengelolaan administrasi kepegawaian secara manual dalam pengelolaan kepegawaian (PNS), saat ini telah dilakukan melalui pemanfaatan TI, yakni Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaiann (SAPK). SAPK mencakup informasi pelayanan kepegawaian berbasis elektronik secara online dan terintegrasi yang digunakan oleh instansi Pusat maupun Daerah. Bahkan, sejak 25 Juli 2011 telah diberlakukan SAPK Web Base. Tentunya, penerapan SAPK berbasis Web ini memberikan manfaat dan keunggulan yang sangat besar dalam pelayanan kepegawaian.

Namun demikian, berbagai upaya yang telah dilakukan dalam mewujudkan pengelolaan PNS yang baik pada kenyataannya belum tercapai secara optimal. Masih saja banyak persoalan-persoalan yang melingkupi dan timbul ketika praktek-praktek kepegawaian diterapkan di lapangan. Bahkan, persoalan-persoalan yang muncul tersebut berbuah menjadi sengketa kepegawaian yang tidak jarang berlanjut ke ranah hukum atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Lantas, bagaimanakah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kebijakan publik yang berkualitas, khususnya di bidang kepegawaian?

TI sebagai Basis Pengambilan Kebijakan Kepegawaian

Mengikuti paham bahwa kebijakan publik (public policy)harus mengabdi pada kepentingan masyarakat, maka “kebijakan publik” diistilahkan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh Pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Begitu pentingnya kebijakan publik untuk kemaslahatan masyarakat, maka dalam formulasi kebijakan publik harus dilakukan secara cermat dan teliti sehingga output serta outcome yang hendak dicapai dapat terwujud. Oleh karena itu, pada tahapan formulasi ini perlu adanya studi atau analisis terhadap kebijakan publik yang akan ditetapkan.

Analisis kebijakan publik merupakan serangkaian prosedur analisis yang bersifat rasional, suatu penerapan berbagai metode penelitian dan pengkajian ilmiah yang bertujuan menghasilkan informasi yang dapat digunakan dalam proses kebijakan. Hal ini menjelaskan perlunya pengkajian dan penelitian yang mendalam dalam memformulasikan kebijakan publik yang akan diputuskan. Melalui pengkajian dan penelitian ini data-data atau informasi yang dikumpulkan akan lebih valid dan reliabel. Hal ini dikarenakan pengkajian dan penelitian mendasarkan pada metode-metode yang ilmiah dan sistematis. Dengan kata lain, untuk mewujudkan kebijakan publik yang berkualitas, maka diperlukan pengkajian dan penelitian yang mendalam dalam formulasinya.

Nah, untuk mewujudkan data-data atau informasi menjadi akuntabel, maka peran TI menjadi sangat penting. TI mampu berperan mengolah, memproses sampai menyimpan data-data atau informasi yang tersedia. Ini sesuai dengan penjelasan Wawan Wardiana (2002), yang menyatakan TI sebagai ”suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan   merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan”. Dengan demikian, wajar bila dikatakan bahwa TI memiliki hubungan yang sangat erat dengan suatu kebijakan. Artinya, penerapan TI dapat menjadi basis dalam pembuatan suatu kebijakan.

Kaitannya dengan hal di atas, praktek penerapan TI sebagai basis pengambilan kebijakan adalah dengan disusunnya berbagai macam aplikasi yang mendukung pengelolaan kepegawaian di beberapa instansi Pemerintah. Di Badan Kepegawaian Negara (BKN), aplikasi pengelolaan kepegawaian diantaranya telah dilakukan melalui sistem aplikasi Human Resource Management Analysis/HRMA. HRMA memuat kesejahteraan (welfare), performance, kompetensi, alur rekrutmen SDM, dan SOP. Sistem aplikasi ini juga memuat mekanisme proses pengangkatan, pelaporan, distribusi, eskalasi dan pendefinisian struktur unit organisasi kepegawaian. Berbasis pada substansi-substansi yang termuat dalam   sistem aplikasi HRMA tersebut, pimpinan dapat dengan mudah melihat data-data kepegawaian, dan sekaligus memudahkan untuk pengambilan kebijakannya. Sebagaimana tujuan diterapkannya sistem-sistem aplikasi yang telah ada di beberapa instansi, maka penerapan teknologi informasi tersebut diharapkan dapat mewujudkan kebijakan di bidang kepegawaian yang berkualitas.

TEKNOLOGI INFORMASI SEBAGAI AGENT OF CHANGE

“……in order to manage its environment effectively, an organization should be designed to fit with its environment”. Apa yang diungkapkan Mintzberg tersebut barangkali menjadi pengingat bagi kita; bahwa untuk mengelola lingkungan organisasi secara efektif, maka suatu organisasi harus mendesain organisasi sesuai dengan lingkungannya. Dengan kata lain, sebagai upaya menjaga eksistensi organisasi, maka organisasi perlu menghadapi ataupun mengadaptasi dengan lingkungannya yang dinamis.

Sebaliknya, “a poor fit between organization design and environment leads to failure….!!”. Ketidaksesuaian antara desain organisasi dan lingkungan justru akan menyebabkan kegagalan. Atau, organisasi yang tidak dapat mengadaptasi dengan lingkungannya, maka tinggal menunggu waktu untuk kehancurannya.

Barangkali, gambaran di atas tidak hanya ditujukan ketika suatu organisasi melakukan penyesuaian struktur organisasi (reorganization) dan penyesuaian ukuran organisasi (rightsizing). Namun, hal tersebut berlaku pula ketika organisasi menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan strategisnya.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka pesatnya perkembangan teknologi informasi dan cyber pada saat ini haruslah dihadapi dan diantisipasi dengan kebijakan-kebijakan yang tepat. Bagaimanapun, perkembangan teknologi informasi telah mengubah pola dan tata hubungan antar masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Untuk itu, setiap organisasi, baik organisasi publik/pemerintah maupun organisasi privat/swasta, dituntut untuk menerapkan teknologi informasi dalam setiap kegiatannya. Dalam kaitan ini, seluruh instansi pemerintah dituntut pula menerapkan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pelayanan kepada publik, sebagai bagian dari reformasi birokrasi.

Reformasi Birokrasi dan Manajemen Perubahan Organisasi Pemerintah

Pada hakikatnya reformasi birokrasi merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan agar berjalan dengan efektif dan efesien. Tujuan dicanangkannya reformasi birokrasi itu sendiri adalah untuk mempercepat tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik, sehingga pembangunan nasional di segala bidang dapat berjalan sesuai dengan rencana.

Pada saat ini, reformasi birokrasi telah memasuki “gerbang” Gelombang Kedua (2010-1014), dimana pada kenyataannya masih belum banyak kemajuan yang cukup berarti yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Reformasi birokrasi hanya dianggap sebagai wacana dan masih cukup jauh dari harapan masyarakat untuk “menumbuhkan” profesionalitas aparatur negara dalam memberikan pelayanan pemerintahan dan pembangunan kepada masyarakat.

Riri Satria, Doktor UI dan salah satu anggota Tim Reformasi Birokrasi di lingkungan POLRI, mengungkapkan beberapa penghambat terwujudnya reformasi birokrasi di tubuh aparatur negara, adalah: pertama, pemahaman mengenai desain organisasi oleh aparat masih rendah; kedua, perumusan strategi manajemen perubahan yang belum holistik; ketiga, penurunan (cascading) strategi manajemen perubahan belum sepenuhnya dilakukan; keempat, instrumen perubahan yang belum dipahami dan disusun sepenuhnya; dan kelima, filosofi/konsep kepemimpinan yang belum terformulasi dengan baik.

Menyitir dari apa-apa yang dikemukakan oleh Riri Satria di atas, maka manajemen perubahan organisasi nampaknya menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam kerangka mewujudkan tujuan reformasi birokrasi. Manajemen perubahan organisasi (pemerintahan) bukan hanya menyangkut strategi, struktur, sistem dan sumber daya manusianya. Akan tetapi, juga menyangkut budaya organisasinya.

Lantas, apa hubungan teknologi informasi dengan reformasi birokrasi? Dan, apa pula hubungan teknologi informasi dengan manajemen perubahan?

Teknologi Informasi sebagai Agent of Change

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka barangkali kita telah “jamak” mengetahui bahwa penerapan teknologi informasi membawa manfaat yang cukup besar pada aktifitas-aktifitas manusia dan organisasi. Dalam kaitan ini, teknologi informasi memberikan kemudahan dan kelancaran sekaligus dapat memberikan pelayanan yang berkualitas (services excellent) kepada masyarakat. Dan, hal inilah kiranya yang menjadi salah satu tujuan dari reformasi birokrasi yang selama ini dijalankan di lingkup instansi-instansi pemerintah.

Sementara itu, manajemen perubahan sangat terkait dengan budaya organisasi. Untuk itu, sebagai upaya mendukung perubahan dalam organisasi, hal yang penting dilakukan adalah merubah budaya organisasi itu sendiri. Permasalahannya, merubah budaya organisasi justru akan cenderung mendapat tantangan yang cukup besar. Tantangan yang paling menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri” (resistance to change).

Salah satu jalan yang mungkin dapat diterapkan dalam merubah budaya organisasi adalah penerapan teknologi informasi. Dalam hal ini, teknologi informasi merupakan “alat” dan bukan pencipta momentum dari perubahan. Banyak pakar (ahli) berpandangan bahwa teknologi informasi dapat merubah “budaya organisasi”, yang aplikasinya adalah perubahan “budaya pelayanan” para pegawai terhadap customer-nya.

Peran teknologi informasi dalam penyajian data dan informasi bagi kepentingan berbagai pihak juga dapat menjadi alat perubahan (agent of change) dalam organisasi. Dicontohkan, adanya teknologi informasi telah mampu menyimpan berbagai macam data/informasi secara mendetail terkait dengan riwayat pegawai, termasuk data/informasi perilaku kerja atau kondite pegawai dalam organisasi. Berkat teknologi informasi ini pula riwayat masing-masing pegawai dapat diketahui dan dapat diakses secara langsung (online) oleh pihak-pihak yang berkepentingan (pimpinan) terkait dengan pengembangan pegawai (penempatan/ placement, pelatihan/trainning, ataupun promosi/promotion). Disisi lain, masyarakat luas juga dapat mengakses data/informasi dan sekaligus “mengawasi” kinerja dan perilaku aparatur negara secara transparan. Kondisi-kondisi seperti inilah yang pada akhirnya telah “memaksa” setiap pegawai atau aparatur negara untuk senantiasa menunjukkan performa kerja dan menjaga perilaku kerja yang baik dalam organisasi.

Atas peran yang sangat penting teknologi informasi sebagai agent of change dari budaya organisasi atau budaya kerja, maka perlu adanya kesadaran (awareness) dan kesukaan terhadap teknologi (technology mindeed) segenap pegawai atau aparatur

MENGGAGAS THR BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pada sektor private (swasta), dalam suatu perusahaan interaksi yang efektif antara pekerja dan manajemen perlu diciptakan dan dipelihara untuk menghasilkan product/output sesuai dengan harapan kedua belah pihak. Pada dasarnya pekerja dan pengusaha sama-sama menginginkan terciptanya hubungan kerja yang harmonis agar kepentingan masing-masing pihak dapat terwujud. Pengusaha menginginkan profit dan terkendalinya kelangsungan usahanya. Sedangkan, pekerja menginginkan peningkatan kesejahteraan. Namun, dalam realitas di lapangan tidak jarang masing-masing pihak bersikukuh mengutamakan dan mempertahankan kepentingannya masing-masing sehingga tidak tercapai titik temu yang mengakibatkan timbulnya perselisihan hubungan industrial.

Dalam kerangka meningkatkan harmonisasi hubungan (industrial) antara pengusaha dan pekerja, pada umumnya adalah dengan memberikan kesejahteraan yang baik kepada para pekerjanya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan pemberian tunjangan dan fasilitas lain, selain gaji.

Setiap perusahaan mempunyai pengaturan yang berbeda terhadap pemberian tunjangan tersebut. Beberapa perusahaan memberikan tunjangan secara tetap tanpa mempertimbangkan kehadiran kerja, seperti tunjangan jabatan. Terdapat juga beberapa perusahaan yang memberikan tunjangan secara tidak tetap atau tergantung pada kehadiran bekerja, seperti tunjangan transport dan tunjangan makan.

Sementara itu, beberapa tunjangan lain diberikan hanya sekedar mempunyai fungsi sosial, seperti tunjangan pemeliharaan kesehatan, tunjangan hari tua, tunjangan kemahalan, tunjangan istri atau suami, tunjangan anak, tunjangan hari keagamaan, tunjangan perumahan dan tunjangan cuti. Oleh sebab itu, tunjangan-tunjangan tersebut sering juga dinamakan sebagai “jaminan sosial”.

Uraian di atas menggambarkan bahwa tunjangan (sebagai bagian dari upah pekerja) bukan saja mempunyai fungsi ekonomis, yaitu sebagai imbalan atas jasa kerja yang diberikan. Akan tetapi, juga mempunyai fungsi sosial dan fungsi insentif atau pendorong bagi pekerja untuk bekerja secara produktif.

Dalam konteks pemberian tunjangan sebagai fungsi sosial, Pemerintah telah menetapkan Tunjangan Hari Raya Keagamaan (yang selanjutnya disebut THR) sebagai tunjangan yang wajib diberikan pengusaha kepada para pekerja. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan, yang menyebutkan bahwa THR adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.

Pemberian THR didasarkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat pemeluk agama yang setiap tahunnya merayakan hariraya keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing. Dalam rangka merayakan hariraya tersebut tentu para pekerja memerlukan biaya tambahan. Dengan demikian, sebagai upaya menciptakan ketenangan usaha dan kesejahteraan pekerja ditetapkan kebijakan pemberian THR tersebut.

Lantas, yang menjadi pertanyaan kita: apakah perlu pemberian THR kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS)? Bagaimana pula formula atau perhitungan besaran THR yang dapat diberikan kepada PNS?

Menggagas THR Bagi PNS

Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji PNS bahwa disamping gaji pokok kepada PNS diberikan tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan. Pada hakekatnya pemberian tunjangan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas kerja PNS.

Tunjangan-tunjangan yang diperoleh PNS diberikan secara langsung (direct compensation) dan merupakan bagian dari penghasilan PNS. Permasalahan yang muncuk kemudian adalah meskipun tunjangan-tunjangan tersebut telah diberikan, namun dalam kenyataannya belum mampu mengangkat tingkat kesejahteraan PNS hingga pada level yang layak dan memadai. Sehingga, masih banyak PNS yang mencari “peluang” penghasilan diluar dan belum menumbuhkan semangat kerja bagi PNS.

Terkait dengan pemberian tunjangan sebagai fungsi sosial, maka pemberian THR seharusnya juga perlu diberikan kepada PNS. Ada beberapa hal yang mendasarinya, yakni: pertama, sebagai penjelmaan prinsip equity atau keadilan dalam pemberian upah (kompensasi) kepada pekerja/pegawai. Prinsip keadilan dalam pemberian upah (kompensasi) ini semestinya diterapkan kepada seluruh pekerja/pegawai pada semua sektor di lingkup wilayah Indonesia, baik sektor swasta maupun sektor pemerintahan. Untuk itu, seharusnya PNS memperoleh hak yang sama dengan rekan-rekannya di perusahaan-perusahaan swasta.

Kedua, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja di atas bahwa THR merupakan pendapatan pekerja yang “wajib” dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya. Artinya, pengusaha atau “pemberi kerja” memiliki kewajiban memberikan THR menjelang Hari Raya Keagamaan kepada pekerja atau pegawainya. Oleh karena itu, Pemerintah sebagai “pemberi kerja” pun memiliki kewajiban yang sama kepada pegawainya (PNS).

Berdasar hal-hal di atas, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan PNS, maka perlu pula ditetapkan kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan sebagaimana diterapkan pada pekerja di sektor swasta. Dalam kaitan ini, THR diberikan bertujuan agar PNS beserta keluarganya tidak mendapatkan kesulitan keuangan sewaktu menjelang peringatan Hari Raya Keagamaannya masing-masing.

Selanjutnya, bagaimanakah bentuk formula atau perhitungan besaran THR yang dapat diberikan kepada PNS?

Seperti diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja, pada lingkup sektor swasta dasar perhitungan THR adalah: Upah/Gaji Pokok + Tunjangan Tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah tunjangan yang diberikan secara rutin per bulan yang besarannya relatif tetap, contoh: tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan keahlian/profesi. Sedangkan, tunjangan tidak tetap adalah tunjangan yang penghitungannya berdasarkan kehadiran atau performa kerja, seperti tunjangan transport, tunjangan makan, insentif, dan biaya operasional.

Berdasar pada perhitungan di atas, maka formula penetapan besaran pemberian THR terhadap PNS dapat diperhitungkan sebagai berikut:

THR= Gaji Pokok + Tunjangan Jabatan + Tunjangan Keluarga

Harapan

Peningkatan kesejahteraan terhadap PNS telah lama menjadi komitmen Pemerintah untuk mewujudkannya. Hal ini secara normatif telah dijelmakan dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Hanya, upaya-upaya yang telah dilakukan ternyata belum mampu mengangkat kesejahteraan PNS secara layak dan memadai.

Berkenaan dengan hal tersebut, berbagai cara lain semestinya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan PNS. Dalam kaitan ini, pemberian kesejahteraan dimaksudkan sebagai upaya untuk menumbuh kembangkan harmonisasi hubungan (industrial) yang ingin diwujudkan bersama. Lebih jauh, upaya ini sekaligus untuk meningkatkan produktivitas, sikap pengabdian (pelayanan), kepatuhan dan rasa keadilan.

Secara khusus, pemberian THR kepada PNS diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan PNS secara materiil dan spiritual, yang diliputi oleh rasa kenyamanan dan ketenteraman lahir bathin. Sehingga, setiap PNS dapat merayakan hari raya keagamaannya masing-masing dengan penuh ke-khusu-an dan kegembiraan, untuk kembali bekerja dengan penuh semangat pengabdian karena bekerja merupakan “ibadah”.

TANTANGAN DALAM PENGEMBANGAN KARIER PEGAWAI NEGERI SIPIL

Pengembangan pegawai (employee development) menjadi salah satu critical factor pada pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi. Artinya, pengembangan pegawai merupakan hal yang essensial dan urgent untuk terus dijalankan bagi kemajuan organisasi. Dalam konteks pengembangan Pegawai Negeri Sipil (PNS), seringkali orang membaginya kedalam dua hal, yakni pengembangan karier dan pengembangan kualitas atau intelektualnya.

Terfokus pada pengembangan karier pegawai, dapat diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan seorang pegawai dapat naik pangkat atau jabatan yang dihubungkan dengan kemampuan dari pegawai itu sendiri, sehingga dapat tercapai kepuasan kerja yang mendorong peningkatan prestasi dan perkembangan pribadinya. Pengembangan karier juga merupakan suatu cara bagi sebuah organisasi untuk mendukung atau meningkatkan produktivitas para pegawai, sekaligus mempersiapkan mereka untuk dunia yang berubah (Stephen P. Robbins, 1996).

Terkait dengan hal di atas, perlunya pembinaan karier PNS dituangkan dalam Undang-undang nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam pasal 17 ayat (1) Undang-undang ini disebutkan bahwa: “PNS diangkat dalam jabatan dan pangkat tertentu”. Pasal tersebut mengamanatkan bahwa disamping kepangkatan, penempatan setiap PNS harus memiliki kejelasan jabatannya. Pasal tersebut juga diinterprestasikan bahwa seseorang PNS adalah seseorang yang duduk dalam jabatan tertentu, didayagunakan untuk melakukan tugas-tugas jabatan, serta memperoleh hasil kerja yang ditetapkan dan ditargetkan oleh jabatan yang didudukinya.

Selanjutnya, Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa:

“Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan”.

Dalam program pengembangan atau pembinaan PNS, pasal tersebut menjadi dasar pembentukan aparatur pemerintah yang profesional. Profesionalisme disini sangat terkait dengan kompetensi PNS, yaitu penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan pemilikan kecakapan kerja yang mendasari pelaksanaan tugas pada jabatan yang didudukinya.

Fenomena Pengembangan Karier PNS

Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002, Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seseorang PNS berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Sedangkan, Kenaikan Pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian PNS terhadap negara. Kenaikan Pangkat terdiri dari Kenaikan Pangkat Regular dan Kenaikan Pangkat Pilihan. Kenaikan Pangkat Regular adalah penghargaan yang diberikan kepada PNS yang telah memenuhi syarat yang ditentukan tanpa terikat pada jabatan. Kenaikan Pangkat Pilihan adalah kepercayaan dan penghargaan yang diberikan kepada PNS atas prestasi kerjanya yang tinggi.

Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 mengatur bahwa setiap PNS yang akan naik pangkat ke dalam golongan yang lebih tinggi wajib menempuh dan lulus Ujian Dinas; kecuali ditentukan lain sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002 tersebut atau Peraturan Perundang-undangan lainnya. Ujian Dinas dibagi dalam 2 (dua) tingkat, yaitu: (1) Ujian Dinas Tingkat I untuk Kenaikan Pangkat dari Pengatur Tingkat I Golongan Ruang II/d menjadi Penata Muda Golongan Ruang III/a; dan (2) Ujian Dinas Tingkat II untuk Kenaikan Pangkat dari Penata Tingkat I Golongan Ruang III/d menjadi Pengatur Muda Golongan Ruang IV/a. Sementara itu, Kenaikan Pangkat Pilihan diberikan kepada PNS yang melaksanakan tugas belajar apabila lulus dan mendapatkan ijazah, setalah memenuhi beberapa syarat diantaranya telah lulus Ujian Penyesuaian Ijazah.

Terkait dengan Kenaikan Pangkat Reguler, maka acuan dasar pelaksanaan Ujian Dinas yang berlaku sampai saat ini adalah Surat Edaran Kepala BAKN dan Ketua LAN Nomor 193 Tahun 1981, yang mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002, petunjuk pelaksanaan Ujian Dinas masih mendasarkan pada Surat Edaran Kepala BAKN dan Ketua LAN tersebut. Meskipun, terdapat beberapa perubahan yang mendasar, yakni Ujian Dinas yang sebelumnya terdiri dari tiga tingkatan berubah menjadi hanya dua tingkatan seperti disebutkan di atas.

Mengacu Surat Edaraan Kepala BAKN dan Ketua LAN, materi-materi Ujian Dinas tidak berubah, walaupun saat ini bahan-bahan materi telah tidak diberlakukan lagi dalam tataran administrasi negara atau administrasi kepegawaian. Misalanya, materi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah tidak lagi menjadi acuan dasar pembangunan nasional.

Pelaksanaan Ujian Dinas diantara masing-masing instansi Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah pun seringkali terlihat tidak seragam. Pra Ujian Dinas, pada beberapa instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan pembekalan materi-materi Ujian Dinas. Sementara itu, pada beberapa instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang lain tidak dilaksanakan pembekalan materi-materi Ujian Dinas. Materi-materi yang disampaikan dalam pembekalan Ujian Dinas juga berbeda antara satu instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan yang lainnya.

Disisi lain, standar penilaian kelulusan seorang PNS dalam mengikuti Ujian Dinas juga belum dibakukan. Dengan demikian, pada masing-masing instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah mempunyai penilaian sendiri terhadap PNS yang akan memperoleh Kenaikan Pangkat Regulernya.

Kondisi-kondisi di atas menggambarkan adanya kemudahan dan/atau kesulitan yang dihadapi diantara PNS pada suatu instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan PNS pada instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang lain dalam pengembangan kariernya. Persoalan ini juga menandakan bahwa aturan-aturan dari pengembangan karier PNS belum sesuai dengan norma, standar dan prosedur sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang berlaku secara nasional.

Tantangan Pengembangan Karier PNS

Dinamika yang berlangsung di lingkup tataran administrasi negara dan administrasi kepegawaian sepatutnya diantisipasi dan dihadapi dengan seksama oleh instansi-instansi terkait dengan pengelolaan kepegawaian nasional. Dalam kaitan ini, BKN sebagai instansi yang memiliki kewenangan besar untuk mengelola kepegawaian secara nasional, perlu melakukan beberapa hal: pertama, seiring dengan beberapa perubahan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002, sebaiknya dibuat pedoman baru tentang pelaksanaan Ujian Dinas, yang antara lain memuat ketentuan-ketentuan pelaksanaan Ujian Dinas, dan kewenangan penyelenggaraan Ujian Dinas.

Kedua, BKN bersama LAN perlu menelaah kembali materi-materi Ujian Dinas. Materi-materi Ujian Dinas semestinya disusun menyesuaikan Tingkat Ujian Dinas, serta dapat mengikuti perkembangan di lingkup administrasi negara dan administrasi kepegawaian.

Ketiga, BKN juga perlu menyusun standar kualitas sebagai pedoman untuk menilai Ujian Dinas. Penyusunan standar kualitas Ujian Dinas dapat mendasarkan pada hasil evaluasi pelaksanaan Ujian Dinas yang telah berlangsung selama ini.

Untuk menghindari ketidakseragaman dan adanya kepastian pengembangan karier PNS, khususnya dalam pelaksanaan Ujian Dinas, tantangan di atas tentu merupakan “kewajiban” bagi instansi-instansi pengelola kepegawaian untuk memberikan solusinya. Tantangan tersebut semestinya juga bukan merupakan hal yang terlalu sulit untuk dilaksanakan, apabila ada kemuan yang kuat. Oleh karenanya, “hak preogratif” yang dimiliki beberapa instansi pengelola kepegawaian seharusnya dioptimalkan untuk mewujudkan administrasi kepegawaian yang baik, sekaligus mewujudkan capaian dari pengembangan karier PNS itu sendiri.

SIAPA YANG HARUS BERUBAH???

Prakata

Manusia memiliki   tingkat atau derajat yang lebih tinggi dari makhluk lain, termasuk Malaikat atau Dewa sekalipun. Hal ini dikarenakan manusia lahir dengan potensi kodratnya berupa cita, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai ‘kebenaran’. Rasa adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai ‘keindahan’, Sedangkan, karsa adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai ‘kebaikan’.

Dengan ketiga potensinya itu, manusia selalu terdorong untuk ingin tahu dan bahkan mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan yang terkandung didalam segala sesuatu yang ada (realitas). Ketiga jenis nilai tersebut dibingkai dalam suatu sistem, selanjutnya dijadikan landasan dasar untuk menciptakan filsafat hidup, menentukan pedoman hidup, dan mengatur sikap dan perilaku hidup agar senantiasa terarah ke pencapaian tujuan hidup.

Berdasarkan hal-hal di atas, setiap manusia berupaya untuk meningkatkan atau menggali potensi dirinya, termasuk kaitannya dalam kehidupan bermasyarakat ataupun berorganisasi. Upaya penggalian potensi diri setiap individu, dalam organisasi, terkait dengan asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa: (a) setiap individu/person dapat belajar untuk memiliki kompetensi di segala bidang; (b) setiap individu/person memiliki kesempatan yang luas untuk bertumbuh dari keterbatasan-keterbatasan atau kelemahan-kelemahan yang dimilikinya (Buckingham and Donald O. Clifton, 2007).

Selanjutnya, Buckingham and Donald O. Clifton menyatakan bahwa pengembangan bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga harus ditujukan kepada orang lain. Dalam konteks ini, setiap pimpinan atau manajer harus pula berupaya mengembangkan pegawai/bawahannya. Dua asumsi yang memandu pimpinan atau manajer terbaik dalam menggali kekuatan-kekuatan orang lain yang dipimpin adalah: (a) setiap individu/person memiliki talenta/potensi yang besar dan unik; (b) setiap individu/person memiliki kesempatan yang luas untuk tumbuh di bidangnya masing-masing.

Kedua asumsi tersebut merupakan dasar/fondasi bagi keseluruhan upaya yang dilakukan bagi orang lain yang dipimpinnya. Kedua asumsi tersebut juga menjelaskan mengapa seorang manajer yang besar secara hati-hati memperhatikan talenta/potensi seseorang dalam setiap waktu, mengapa mereka memfokuskan pada kinerja seseorang melalui output yang dihasilkan daripada menekan mereka pada suasana yang tidak menyenangkan, mengapa mereka menghindari aturan yang baku dan memperlakukan pegawai secara berbeda, dan mengapa mereka menyediakan sebagian besar waktunya dengan bawahan-bawahannya. Dengan kata lain, kedua asumsi tersebut menjelaskan mengapa para manajer terbaik dunia mematahkan semua aturan konvensional pada kebijakan manajemen organisasi.

            Uraian-uraian di atas menerangkan kepada kita bahwa manusia secara alamiah dan naluriah butuh adanya perkembangan atau kemajuan dalam kehidupannya. Manusia ingin dihargai harkat dan martabatnya dihadapan manusia lainnya. Sebagai individu dari keseluruhan anggota suatu organisasi, manusia juga memiliki keinginan untuk memajukan organisasinya. Apalagi, ia merepresentasikan sebagai pimpinan atau atasan dalam lingkup organisasi tersebut. Oleh karena itu, perubahan (baca: peningkatan kualitas) dalam diri manusia dan perubahan dalam diri orang lain dalam organisasi merupakan hal yang semestinya dilakukan secara terus menerus.

Siapa yang Harus Berubah?

            Barangkali kita teringat pameo, ”….tidak ada prajurit yang bodoh, akan tetapi hanyalah ada jenderal yang tidak pintar!” Paling tidak, hal ini menggambarkan pada hakekatnya tidak ada seorang-pun yang tidak bisa dikembangkan, kecuali kita sendiri yang tidak bisa melakukannya. Tidak ada seorang pegawai/bawahan-pun yang tidak bisa dikembangkan, kecuali pimpinan/atasan itu sendiri yang tidak dapat mengerjakannya. Oleh karenanya, kita atau pimpinan/atasan-lah yang semestinya bergerak terlebih dahulu dibandingkan orang-orang disekitar kita atau pegawai/bawahan.

Mengapa pimpinan/atasan yang harus memulai untuk melakukan perubahan? Dalam lingkup organisisi publik (birokrasi), alasan yang barangkali lebih masuk akal untuk memberikan “dalih”nya adalah mengacu pada patologi birokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Siagian (1994), yakni adanya kekuasaan kepemimpinan yang sangat besar dalam tubuh birokrasi oleh seorang pimpinan/atasan. Pimpinan/atasan memiliki otoritas/kewenangan yang sangat besar dalam mengendalikan organisasi dan mengontrol arah setiap keputusan ataupun kebijakannya. Disisi lain, pegawai atau bawahan selalu menjadi sosok sub-ordinasi, yang tidak mempunyai kewenangan atau otoritas sama sekali, sehingga mereka harus menerima instruksi/perintah dari seorang pimpinan/atasannya, tanpa daya dan tanpa ada alasan untuk menolaknya.

Dalam konteks pengembangan kualitas dan pengembangan karier pegawai/bawahan, pun pimpinan/atasan memiliki kewenangan yang sangat besar terhadap siapa yang “dipilihnya”. Ini didukung adanya kecenderungan hubungan yang terbentuk dalam pola hubungan patronase atau pun tindakan pilih kasih dalam interaksi hubungan antar anggota organisasi (Siagian, 1994). Pilihan terhadap sosok yang dipilih seringkali lebih didasarkan pada pilihan “spoil system” daripada “merit system” yang selama ini diwacanakan. Dengan demikian, sesungguhnya peran pimpinan/atasan untuk memajukan organisasi dan semua sumber daya yang ada didalamnya adalah sangat besar dan menentukan.

Pada tataran tersebut, pimpinan/atasan merupakan “teladan” sekaligus subyek penggerak pegawai/bawahan dalam melakukan perubahan-perubahan. Dan, pegawai/bawahan sebagai obyek, pun sekaligus dapat memerankan sebagai subyek (agent of change), akan mengikuti alur perubahan yang digulirkan dalam organisasi.

Siapkah Kita Berubah?

Terkait dengan gaung reformasi birokrasi yang sedang trend dilakukan dalam tubuh birokrasi, maka pimpinan/atasan mempunyai tanggung jawab terhadap perubahan yang harus dilakukan. Birokrasi harus meninggalkan paradigma serta “postur” yang selama ini “terjaga” dan berubah menjadi birokrasi yang profesional serta melayani masyarakat.

Lantas, bagaimana upaya yang dapat dilakukan pimpinan/atasan untuk melakukan perubahan tersebut? Ada banyak tulisan yang menerangkan tentang hal ini. Namun, penulis lebih senang dengan uraian mengenai serangkain tindakan yang bisa dilakukan untuk mendukung proses perubahan tersebut, yaitu: pertama, menciptakan sistem penghargaan yang mendukung proses perubahan. Ini menjadi salah satu alat dan merupakan sarana manajemen yang sangat kuat untuk meningkatkan buy-in serta komitmen pegawai/bawahan. Kedua, membuat anggaran yang lebih mendukung proses perubahan menjadi bagian yang krusial dari proses implementasi. Ketiga, membuat aturan dan prosedur pengoperasian yang lebih baru dan lebih sesuai dengan arah implementasi perubahan. Kebijakan dan aturan yang kondusif akan sangat membantu menciptakan iklim kerja dam kultur organisasi yang mendukung proses perubahan. Keempat, tahapan terakhir yang harus dilakukan adalah memelihara momentum perubahan. Fase ini perlu dilakukan agar proses perubahan yang telah dijalankan tetap berada on track, dan tidak mundur lagi ke belakang. Bebarapa tindakan konkrit yang dapat dilakukan disini antara lain adalah membangun support system bagi para change agent. Selain itu juga perlu dikembangkan kompetensi dan perilaku baru yang lebih sesuai dengan tujuan perubahan yang hendak diraih (http//rajapresentasi.com).

Dari beberapa hal yang ditawarkan di atas, maka semestinya pimpinan/atasan dalam setiap organisasi dapat lebih mudah untuk mengimplementasikan perubahan dalam organisasi/unit kerja masing-masing. Persoalannya adalah, apakah kita (pimpinan/atasan) mau melakukan perubahan dengan segala resistensi perubahan (resistance to change) yang dihadapi, baik resistensi dari individu maupun resistensi dari organisasi itu sendiri?. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya adalah, siapkah kita untuk berubah….???

SECURITY OF CAREER: PERLUKAH DITERAPKAN DI LINGKUP PEGAWAI NEGERI SIPIL?

Sebagaimana diungkapkan oleh Buckingham dan Donald O. Clifton (2007), setiap manusia berupaya untuk meningkatkan atau menggali potensi dirinya, termasuk kaitannya dalam kehidupan berorganisasi. Upaya penggalian potensi diri setiap individu, dalam organisasi, terkait dengan asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa: (a) setiap individu/person dapat belajar untuk memiliki kompetensi di segala bidang; (b) setiap individu/person memiliki kesempatan yang luas untuk bertumbuh dari keterbatasan-keterbatasan atau kelemahan-kelemahan yang dimilikinya.

Dalam konteks di atas, setiap individu yang bekerja pada suatu organisasi memiliki kesempatan dan keinginan untuk maju dalam kariernya. Karier disini diartikan sebagai urutan posisi yang terkait dengan pekerjaan yang diduduki seseorang sepanjang hidupnya (Mathis dan Jackson, 2002). Dalam istilah kepegawaian, karier sering diartikan dengan kemajuan atau perkembangan yang dicapai oleh seorang pegawai dalam menekuni pekerjaannya selama masa aktif dalam hidupnya. Karier sering juga diterjemahkan dengan mobilitas pegawai dalam suatu organisasi mulai penerimaan, pengangkatan menjadi pegawai sampai pensiun dalam suatu rangkaian jenjang kepangkatan dan dalam jabatan-jabatan yang dilaluinya (Saydam, 1997). Pendek kata, sebagian orang menganggap karier sebagai promosi di dalam organisasi.

Selanjutnya, Ruky (2003) menyebutkan bahwa pengembangan karier menjadi tanggung jawab kedua belah pihak, yakni pegawai dan organisasi. Hal ini didukung oleh Fathoni (2006) yang mengatakan bahwa dalam pengembangan karier pegawai, berbagai langkah yang perlu ditempuh dapat diambil atas prakarsa pegawai sendiri, tetapi dapat pula kegiatan yang disponsori oleh organisasi, atau gabungan dari keduanya. Dengan demikian, dalam kegiatan pengembangan karier pegawai perlu adanya kemauan dan komitmen dari pegawai maupun pimpinan organisasi.

Dalam lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS), nampaknya kecenderungan pengembangan karier pegawai justru lebih berada pada pihak pimpinan atau organisasi. Padahal, bila kita cermati lebih mendalam dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 12 ayat (2) mengamanatkan bahwa pembinaan kepegawaian (PNS) didasarkan atas sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Artinya, disini ada keseimbangan yang mungkin harus sejalan antara pengembangan diri PNS melalui peningkatan kompetensi diri dan prestasi yang ditunjukkan pada organisasi, dengan penilaian yang obyektif dari organisasi dalam pembinaan kepegawaian, termasuk peningkatan karier PNS.

Fenomena yang justru berkembang dan sering menjadi pameo yang belum juga hilang dalam pengembangan karier PNS adalah terkait dengan “DUK-pegawai”. DUK seringkali diartikan sebagai “Daftar Urut Kepangkatan”, yang berarti seorang PNS yang berpromosi atau akan menduduki suatu jabatan tertentu tergantung pada pangkat atau golongannya. Siapa pun yang memiliki pangkat atau golongan lebih tinggi memiliki kecenderungan untuk “layak” promosi. Meski, mungkin dilihat dari segi kompetensinya lebih rendah dibandingkan yang lainnya.

Bahkan, pameo tersebut berkembang menjadi “joke” yang sering dilontarkan untuk menggambarkan betapa kurang obyektifnya dasar pengembangan karier di lingkungan organisasi publik. DUK seterusnya diartikan sebagai “Daftar Urut Kedekatan”, artinya siapa yang “dekat” dengan pimpinan di lingkungan organisasinya, maka ia akan lebih cepat untuk promosi. Dan, yang kemudian cukup menggelikan adalah DUK diartikan sebagai “Daftar Urut Kemufakatan”, yang tentu saja artinya mengarah pada hal-hal yang kurang baik sebagai dasar promosi seorang pegawai atau pejabat.

Berangkat dari hal di atas, tulisan ini mencoba sedikit mengungkap tentang gambaran atau fenomena pengembangan karier PNS, khususnya di lingkup Pemerintah Daerah.

Fenomena Pengembangan Karier PNS Daerah

Seperti di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS menyebutkan bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Daerah (Gubernur, Walikota atau Bupati) memiliki wewenang untuk menetapkan dan memberhentikan Sekretaris Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota. PPK Daerah Propinsi juga mempunyai kewenangan dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi. Sedangkan, PPK Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Adanya kewenangan yang begitu besar dari PPK Daerah bagaimanapun telah pula memunculkan permasalahan-permasalahan dalam konteks pembinaan kepegawaian daerah, antara lain terdapat kecenderungan penerapan PP Nomor 9 Tahun 2003 yang kurang proporsional oleh PPK Daerah. Dalam kaitan ini, seringkali terjadi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS dalam dan dari jabatan struktural yang berlangsung tanpa mengindahkan norma dan prosedur kepegawaian. Situasi seperti ini seringkali menimbulkan permasalahan yang berkepanjangan diantara pejabat politis (Gubernur/Bupati/Walikota) dengan kalangan birokrasi di bawahnya. Bahkan, persoalan seperti ini sering menimbulkan pertentangan yang pada gilirannya berujung di pengadilan (PTUN).

Di lingkup Pemerintahan Daerah, kecenderungan penggantian, pemindahan atau penurunan jabatan lebih terasa dan menjadi kekhawatiran “yang luar biasa” bagi pejabat-pejabat karier. Dalam hal ini, momen-momen yang dikhawatirkan adalah Pertama, saat terjadinya perpindahan kekuasaan dari pejabat lama kepada pejabat baru. Tidak dipungkiri bahwa pergantian pejabat (baca: pimpinan) di suatu instansi pemerintah seringkali berdampak pada penggantian atau perpindahan pejabat-pejabat di bawahnya. Kecenderungan seperti ini didasari oleh banyak hal yang lebih terkait pada kepentingan-kepentingan (interests) pejabat yang baru tersebut.

Penggantian kepala daerah oleh pejabat di bawahnya atau mewakili, ketika kepala daerah kembali mencalonkan diri (calon incumbent) menjadi momen yang cukup terasa bagi pejabat-pejabat karier. Pejabat baru, atas nama untuk memperbaiki kinerja Pemerintah Daerah seringkali mengganti “gerbong” di bawahnya dengan orang-orang kepercayaannya.

Kedua, saat terjadinya “perubahan rezim” di lingkup Pemerintah Daerah. Pergantian pucuk pimpinan atau kepala daerah melalui pemilu kada pun seringkali menuai dampak bagi pergantian pejabat-pejabat di bawahnya. Apalagi, rezim yang baru ini merupakan bagian atau diusung dari partai politik yang berbeda dengan rezim sebelumnya.

Atas nama penguatan kinerja dan loyalitas yang diperlukan kepada pucuk pimpinan, rezim baru ini tidak jarang merombak “kabinet daerah” dengan pejabat-pejabat yang dianggap sesuai dengan selera pimpinan. Disini, dapat pula terjadi adanya “bargaining” atau praktek-praktek kemufakatan terhadap posisi jabatan struktural di daerah.

Disisi lain, terungkap pula temuan bahwa pemindahan/mutasi pegawai atau pejabat serta pengangkatan pegawai dalam dan dari jabatan struktural daerah dilakukan melalui mekanisme penyederhanaan/ perampingan organisasi Pemerintah Daerah. Meski, dalam proses pemindahan/mutasi pejabat/pegawai serta pengangkatan pegawai dalam dan dari jabatan struktural daerah tersebut kurang memperhatikan kepangkatan, kompetensi dan Diklat yang dimiliki seorang pegawai/pejabat dimaksud.

Perlukah Security of Career?

Berkenaan dengan kondisi-kondisi di atas! Lantas, bagaimanakah upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga entitas kepegawaian pada jalur yang benar? Bercermin dari realitas di lapangan, dimana pejabat-pejabat di daerah merasa kurang nyaman dan “terganggu” keamanan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Maka, security of career (kenyamanan atau keamanan berkarier) sangat diperlukan untuk mendukungnya.

Seperti dikemukakan Ubaydillah (www.e-psikologi.com), dalam hal pekerjaan atau karir, sedikitnya  ada dua paradigma  yang berkembang yaitu job security dan career security. Job security merujuk pada keamanan atas pekerjaan yang dimiliki atau diberikan oleh pihak perusahaan (external). Sedangkan, career security merujuk pada keamanan atas bidang karir atau pekerjaan yang dipilih oleh diri sendiri (internal).

Dalam konteks tulisan ini, barangkali pengertian yang kurang-lebih cocok digunakan adalah career security atau security of career. Disini, sebagai upaya untuk menjamin keamanan karier seseorang perlu dibuat aturan yang jelas dan tegas. Nah, dalam security of career di PNS, paling tidak ada aturan yang memuat tentang penilaian-penilaian atau indikator-indikator yang jelas bagi seorang pegawai atau pejabat yang “pantas” untuk promosi, mutasi ataupun demosi.

Kebijakan “security of career” mungkin belum dapat diterapkan secara nyata di lingkup PNS daerah. Namun, untuk kenyamanan dan keamanan karier PNS atau pejabat daerah, beberapa hal yang barangkali dapat diterapkan, adalah: pertama, perlu disusun Pola Karier PNS daerah yang mempedomani dan “membentengi” karier-karier pegawai atau pejabat daerah. Bahwa, pada saat ini ada kecenderungan banyak PPK yang kurang berkenan untuk menetapkan Pola Karier PNS daerah, maka perlu disusun strategi lain di bidang kepegawaian. Dalam kaitan ini, perlu ditetapkan Pola Karier PNS secara nasional oleh instansi terkait, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Dengan demikian, pola karier pegawai atau pejabat yang diterapkan dan berlaku di daerah akan mengacu serta mempedomani pada ketentuan Pola Karier PNS tersebut.

Kedua, perlu adanya pola penilaian (assesment) yang jelas dan terukur terhadap kompetensi pegawai atau pejabat yang akan menempati posisi atau jabatan tertentu di daerah. Dalam kaitan ini, perlu adanya aturan kepegawaian yang “mewajibkan” penilaian (dapat dilakukan melalui fit and proper test) sebelum seorang pegawai atau pejabat menduduki suatu jabatan struktural. Penilaian ini dilakukan oleh lembaga atau instansi yang terakreditasi dan independen. Dengan demikian, dalam rangkaian kegiatan promosi, mutasi ataupun demosi terhadap pegawai atau pejabat di daerah akan lebih “obyektif” dan terhindar dari interests pemangku pucuk pimpinan daerah.

Dari catatan-catatan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan security of career bagi pegawai atau pejabat daerah memang memiliki relevansi untuk segera diwujudkan. Apapun bentuk security of career yang masih memungkinan untuk segera dapat diwujudkan. Security of career dapat bermanfaat disamping bisa menjadi jaminan bagi pegawai atau pejabat dalam menunaikan tugas dan menjaga karier yang telah dirintisnya. Juga, dapat menghindari timbulnya pelanggaran-pelanggaran netralitas PNS yang sering terjadi dalam penyelenggaraan pemilu kada. Semoga!!

Referensi:

Buckingham and Donald O. Clifton, (2007) Now, Discover Your Strengths, How To Develop Your Talents And Those Of The People You Manage, Columbus: Charles E. Merril Publishing Company.

Fathoni, Abdurrahmat H, (2006), Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta.

Mathis, Robert L, John Jackson, (2002), Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta.

Ruki, Achmad S, (2003), Sumber daya Manusia Berkualitas Mengubah Visi Menjadi Realitas “Pendekatan Mikro Praktis untuk Memperoleh dan Mengembangkan Sumber Daya Manusia Berkualitas dalam Organisasi”, PT Gramedia Pusaka Utama, Jakarta.

Saydam, Gousali, (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia, Gunung Agung Jakarta.