Mengikuti Diklat Human Capital Management Certification (HCMC) di PPM-Jakarta barangkali merupakan kesempatan yang langka sekaligus sangat berharga bagi penulis. Diklat yang diikuti 12 peserta dari beberapa unit kerja di Badan Kepegawaian Negara ini juga merupakan program unggulan yang diselenggarakan PPM-Jakarta (atau disebut sebagai Program Pengembangan Eksekutif).
Diklat HCMC sendiri memiliki tujuan yang sangat bagus bagi pesertanya, diantaranya: mampu mengidentifikasi kesesuaian antara strategi organisasi dengan strategi HCM, pengembangan desain dan struktur organisasi; mampu mendesain model kompetensi dan proses asesmen kompetensi; mampu mengaplikasikan perencanaan SDM, rekrutmen-seleksi, penempatan sesuai dengan kebutuhan organisasi; mampu mengaplikasikan pengembangan dan pengelolaan karier sesuai dengan kebutuhan organisasi; mampu mengaplikasikan manajemen kinerja dan remunerasi sesuai dengan kebutuhan organisasi; dan mampu mengembangkan dan mengubah sikap, perilaku dan cara kerja yang diperlukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan perubahan organisasi.
Kaitan dengan hal di atas, penulis ingin membagi pengalaman mengikuti Diklat HCMC dalam tulisan yang sederhana ini. Tentunya, isi tulisan ini tidak terlepas mengacu pada materi-materi yang diperoleh dari Diklat HCMC tersebut.
HCM: SDM Sebagai “Investor”
Ungkapan yang mungkin cukup kita kenal terkait dengan SDM adalah apa yang diungkapkan oleh Drucker (1993), “organisasi yang tidak mampu meningkatkan diri sendiri, tidak akan sukses dalam kompetisi masa yang akan datang. Oleh karena itu, organisasi harus mampu menyediakan aset manusia (human capital) saat ini yang mampu menjalankan organisasi masa yang akan datang. Organisasi juga harus selalu memperbaharui dan meningkatkan kualitas aset manusianya”.
Jamak kita baca dalam beberapa referensi yang menyatakan bahwa SDM merupakan “asset” dalam organisasi. SDM juga merupakan faktor terpenting dalam organisasi, dikarenakan SDM sebagai penggerak/motor bagi sumberdaya-sumberdaya lainnya. Untuk itu, SDM harus senantiasa dikembangkan pengetahuan dan keterampilannya, serta “dipelihara” dengan berbagai penghargaan (reward) yang “menggiurkan” agar tidak “lari” (turn over) dari organisasinya.
Dinamika yang berkembang saat ini telah “memaksa” kita untuk berubah dalam memandang SDM dalam organisasi. Dalam kaitan ini, paradigma telah mengubah pandangan bahwa SDM bukan lagi semata sebagai “unit ekonomi” atau unit produksi dalam organisasi. Namun, SDM lebih dipandang sebagai “contributor” utama terhadap keberhasilan setiap program atau kegiatan dalam organisasi. Oleh karenanya, bagi organisasi upaya yang perlu dilakukan adalah bagaimana melakukan investasi kepada SDM yang ada untuk mendapatkan nilai tambah bagi ketercapaian tujuan organisasi, serta kepuasan stakeholder.
SDM sebagai intangible asset dalam organisasi menjadi penting dikarenakan ia memiliki kompetensi dan juga komitmen, yang berupa keterampilan, pengalaman, potensi dan kapasitasnya. Nah, SDM akan lebih menjadi aset yang sangat penting atau berharga apabila SDM tersebut memilih untuk menginvestasikan “modalnya” kepada organisasi. Artinya, organisasi akan memperoleh manfaat yang besar atas keberadaan SDM tersebut apabila ia “mau berkorban” atau berkontribusi terkait dengan pencapaian tujuan organisasi. Sebaliknya, apabila ia kurang “mau berkorban” atau berkontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi, ia hanyalah “free rider”, yang cuma membonceng kinerja orang lain dalam organisasi.
Dalam pandangan HCM, pimpinan atau organisasi mempunyai kepentingan agar SDM yang ada menjadi modal/aset organisasi yang baik, yang mampu berkinerja tinggi. Semakin tinggi kinerja SDM, maka semakin tinggi pula ketercapaian tujuan organisasinya. Disisi lain, pimpinan organisasi juga harus “rela” memandang SDM sebagai “pemilik modal” atau “investor” dalam organisasi itu sendiri. Dalam hal ini, SDM memiliki “kedudukan” dan “kepentingan” yang tinggi terhadap eksistensi dan kemajuan organisasi, karena ia memiliki “saham” atas kompetensi, potensi dan kesetiaan kepada organisasi. Artinya, apabila SDM tidak mau berkontribusi atas “saham” yang dimilikinya, maka tentu kemajuan dan tujuan organisasi tidak akan terwujud. Dengan demikian, dalam pandangan HCM, SDM (baca: pegawai) justru yang memiliki peranan yang paling besar (contribute utama) dalam organisasi. Sedangkan, manager yang berada pada setiap lini (unit kerja) hanyalah orang-orang yang dipercaya oleh pemilik “saham” untuk mengelola organisasi.
Strategi untuk HCM
Seperti dikemukakan oleh David Ulrich (2009), “the next agenda for competitiveness is Human Capital”. Untuk itu, segenap anggota organisasi semestinya bersama-sama untuk memikirkan SDM, agar organisasi dapat memenangkan kompetisi. Tugas utama manager adalah bagaimana mengidentifikasi kebutuhan modal untuk pengembangan usaha (baca: program atau kegiatan). Sedangkan, SDM atau pegawai memiliki tugas mengidentifikasi organisasi yang akan memenuhi kebutuhannya sebagai modal.
Dalam upaya mengidentifikasi kebutuhan modal untuk pengembangan usaha, manager harus mampu mendefinisikan secara jelas profil SDM yang diinginkan. Ini berkaitan dengan pemilihan SDM yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan tugas-tugas organisasi. Dalam hal SDM yang telah tersedia, maka manager harus mampu meminimalkan “gap” kompetensi SDM melalui berbagai macam usaha pengembangan pegawai.
Sementara itu, bagi pegawai upaya mengidentifikasi organisasi yang akan memenuhi kebutuhannya sebagai modal, maka ia akan mencari informasi yang seluas-luasnya mengenai kebijakan perusahaan/organisasi yang mampu menarik modal/aset yang dimilikinya. Disini, pegawai memiliki cukup “keleluasaan” untuk memilih dan menentukan apakah modal/aset yang dimiliki akan “disumbangkan” atau tidak diberikan kepada organisasinya saat ini. Disisi lain, pegawai sebagai pemilik modal/aset juga dapat mengalihkan sumbangsih modal/asetnya kepada perushaaan/organisasi lain, yang mungkin mempunyai penawaran “keuntungan” yang lebih tinggi kepada mereka.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya yang dapat dilakukan sebagai “win-win solution” adalah bagaimana kedua belah pihak, manager dan pegawai, dapat bersinergi dalam mewujudkan tujuan organisasi. Manager sebagai orang yang dipercaya pemilik “saham” harus mampu mengelola perusahaan/organisasi dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam mendayagunakan saham-saham yang tersedia. Disamping itu, manager juga harus mampu mengakomodasi dan mendekatkan “kebutuhan-kebutuhan” para pegawai, baik secara materiil maupun non-materiil. Pemenuhan atas kebutuhan pegawai tersebut akan dapat menarik pemilik modal (investor) untuk tetap menanamkan dan mempertahankan “sahamnya” di perusahaan/organisasinya.
Sementara itu, pegawai juga harus berkomitmen memberikan dan memperjuangkan (warriorship) “saham” yang dimilikinya kepada perusahaan/organisasi. Karena, kemauan para pegawai untuk memberikan kontribusi yang besar atas “saham” yang dimiliki merupakan faktor utama yang mempengaruhi berhasil tidaknya pencapaian tujuan organisasi. Jadi, inilah…HCM!!!